Prof. Dr. Media Zainul Bahri, MA

(Guru Besar Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)

Pertama, seorang teman ngomong ke saya mestinya yang puasa itu orang “super kaya” yang selalu dapat apa yang diinginkannya, yang kekayaannya bisa memenuhi semua nafsu duniawinya. Kalau orang-orang kayak kita: orang biasa, kurang mampu, apalagi kaum miskin, memang sudah “puasa” tiap hari, mau puasa apalagi? Bahkan sekarang ada fenomena mencolok orang-orang super kaya itu sering pamer kekayaan materinya.

Saya setuju dengan beberapa pengamat sosial sebaiknya mereka “puasa”, “shaum” alias “menahan diri” dari pamer-pamer itu karena sangat menyakitkan sebagian besar masyarakat kita yang kurang mampu, apalagi ditimpa krisis Covid-19, banyak yang semakin sengsara. Terhadap fakta sosial kaya dan miskin, Al-Qur’an sebenarnya bersikap realistis bahwa memang ada “stratifikasi sosial”, “ada yang Kami tinggikan derajat (sosialnya) antara yang satu dengan yang lain”, tetapi kata Al-Qur’an “supaya satu sama lain saling membutuhkan”, bukan untuk saling memamerkan. Untung ada puasa, orang-orang super kaya itu (juga kita umumnya) diberi kesempatan untuk “berbagi materi”, syukur-syukur di bulan Ramadhan ini, mereka mau membayar hutang-hutang kaum dhuafa yang tidak mampu bayar hutang seperti yang dipraktikkan oleh orang-orang kaya pada masa Turki Utsmani dulu.

Kesenjangan miskin dan kaya di negeri kita kelihatannya masih lumayan mencolok. Seperti biasa, akan ada orang-orang kaya buka puasa di hotel-hotel mewah, satu fenomena yang absah dilihat dari sudut pandang apa pun karena itu hak semua orang, tapi seperti biasa juga akan ada orang-orang seperti “Hasan al-Bashri dan Rabiah Adawiyah yang buka puasa hanya dengan air mata”, kata Gus Mus

Kedua, seorang Guru Tarekat mengajari kita. Selama 11 bulan kita shalat, memang kita shalat. Shalat adalah mikrajnya orang-orang beriman. Itulah momen menghadap dan berkomunikasi dengan Tuhan. Dalam shalat itu kita “naik” ke atas mau menjumpai-Nya, tetapi apa yang kita bawa dalam badan jasmani dan rohani kita? Mungkin makanan dan minuman yang haram, hati dan pikiran yang ruwet soal dunia, kemunafikan kita, lawan jenis selingkuhan kita, taktik dan strategi menghadapi lawan kerja kita dll. Bahkan seringkali terjadi, di luar shalat kita lupa semuanya, tetapi begitu kita takbir, masuk shalat, tiba-tiba kita ingat semua urusan duniawi kita. Sehingga kata Guru Tarekat itu, kita shalat naik ke atas namun seringkali “bau busuk” di hidung Tuhan dan seringkali Tuhan menutup mukanya karena malu melihat banyak najis dan yang haram dalam badan yang kita pakai untuk shalat.

Untung ada puasa satu bulan. Siang hari kita istirahatkan badan dari makanan dan minuman yang “kotor”; kita puasakan syahwat ‘nafsu angkara murka’. Syahwat duniawi jadi resesif. Semoga ruhani kita yang  dominan. Karena itu, ketika shalat tarawih atau qiyamul layl, kita naik menghadap-Nya dengan kebeningan rohani dan kejernihan pikiran kita. Semoga shalat kita di bulan Ramadhan ini “wangi dan harum” di hidung Tuhan.

Semoga khatam puasa jasmani dan rohani kita. Āmīn!