Prof. Dr. Media Zainul Bahri, MA
(Guru Besar Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)
Salah satu tema pokok ulama Sunni di Abad Pertengahan adalah soal “kekuasaan dan kemutlakkan Tuhan Allah”. Abu Hasan Al-Asy’ari misalnya, Hadratus Syaikh-nya kaum Sunni internasional, dalam banyak paragraf karya-karyanya membuat penegasan yang tak diragukan lagi bahwa Tuhan berkuasa penuh, tidak akan tunduk pada siapa pun. Di atas Tuhan tidak ada zat lain yang bisa membuat hukum, tidak ada yang dapat menentukan apa yang boleh dan apa yang tidak boleh bagi Tuhan. Hanya Tuhan sendiri-lah pemilik “kehendak, kekuasaan dan kemutlakkan”.
Menurut Al-Asy’ari, Allah adalah pembuat dan pemberi kewajiban, dan karena itu tidak ada suatu apa pun yang “mewajibkan kepada Allah” atau “diwajibkan kepada-Nya”. Kekuasaan mutlak ada di tangan-Nya. Allah berkehendak dan berkuasa mengampuni orang-orang berdosa, atau mengabulkan doa-doa, atau menurunkan bencana, atau menyiksa hamba-hamba-Nya, namun semua itu “bukan kewajiban Dia”. Tidak ada yang mampu menekan Dia, mengatur Dia, mengontrol Dia. Dia yang maha mengendalikan.
Para murid dan pengikut Hadratus Syaikh Imam Asy’ari melanjutkan doktrin teologis Imam mereka. Abu Manshur al-Baghdadi misalnya mengatakan bahwa tidak masalah jika Allah kemudian melarang apa yang diperintahkan-Nya dan menginstruksikan apa yang telah dilarang-Nya. Itu tetap adil bagi Tuhan, karena perintah-Nya melampaui (beyond) perintah siapa pun, dan Dia tidak perlu bertanggung jawab kepada siapa pun (Allah la yus’al ‘amma yaf’al).
Abu Bakar Al-Baqillani, atau yang biasa dipanggil Imam Al-Baqillani, juga menegaskan bahwa tidak mustahil Allah mengampuni dan memasukkan pelaku maksiat ke dalam surga. Menyiksa orang beriman yang baik dan memberi surga bagi pelaku maksiat dan kejahatan, menurut Al-Baqillani, bukan karena “suatu sebab (perbuatan mereka)”. Menyiksa dan memberi surga adalah hak Allah. Gusti Allah boleh melaksanakannya dan boleh meninggalkannya, kata Al-Baqillani. Allah tetap maha baik meskipun Ia tidak menyiksa pelaku kejahatan, kata Al-Baqillani. Bahkan jika Allah menyiksa semua penduduk langit dan bumi, Ia tidak bisa disebut zalim, kata Syahrastani, seorang ulama Sunni terkemuka yang hidup di abad ke-11 Masehi.
Tetapi, saya mendapat “kesan” bahwa kekuasaan Allah dalam imajinasi ulama Sunni Abad Pertengahan di atas berlaku secara umum terhadap alam semesta ini dan wa bilkhushus terhadap kaum Muslim pengikut Nabi Muhammad. Rupanya Kekuasaan Allah “tidak mampu” menyelamatkan non-Muslim di akhirat kelak. Kekuasaan Allah “menjadi terbatas”. Al-Baqillani misalnya, ulama besar Sunni pendahulu Al-Juwaini dan Al-Ghazali, dalam karyanya Kitab Tamhidul Awail wa Talkhis Dalail, menyatakan bahwa terdapat perbedaan yang sangat esensial-fundamental antara Muslim pengikut Nabi Muhammad dengan orang kafir dan musyrik (non-Muslim). Allah dapat mengampuni sebagian atau seluruh dosa-dosa—besar dan kecil—umat Nabi Muhammad, apalagi jika mereka bertobat, dan apalagi kelak mereka mendapat syafaat Nabi Muhammad. Tetapi tidak dengan orang-orang kafir dan musyrik non-Muslim.
Menurut Al-Baqillani, berdasar ketentuan Nabi Muhammad dan Ijma’ ulama Muslim, semua orang kafir dan musyrik masuk neraka dan kekal di dalamnya. Meskipun dalam al-Qur’an disebut bahwa Allah mengampuni semua dosa-dosa (al-Zumar: 53), tetapi tidak berlaku bagi orang-orang kafir dan musyrik non-Muslim. Kaum kafir tidak akan mendapat ampunan Allah seperti termaktub dalam surat al-Nisa 31 & 116.
Imam Asy’ari, seperti dikutip oleh Syahrastani dalam karyanya Al-Milal wa Nihal, juga menegaskan bahwa Muslim pelaku dosa besar yang tidak bertobat nasibnya di akhirat diserahkan kepada Allah: (1) bisa diampuni karena rahmat-Nya dan karena syafaat Nabi Muhammad; (2) bisa dihukum oleh Allah tetapi nanti—jika sudah bersih–dimasukkan ke surga. Umat nabi Muhammad pelaku dosa besar itu mungkin disiksa di neraka tapi tidak akan kekal bersama orang-orang kafir. Artinya, kaum kafir akan kekal di neraka Jahanam.
Senafas dengan guru intelektualnya itu, bagi Al-Baqillani, pelaku dosa besar atau Muslim fasik tidak masuk dalam kategori “kafir” atau “musyrik”. Karena itu Allah dapat mengampuni dosa-dosa mereka. Sekali lagi, menurut Al-Baqillani, ayat Al-Qur’an “Janganlah putus asa dari rahmat Allah..(Yusuf: 87)” atau “…Janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah. Allah mengampuni dosa-dosa semuanya…(al-Zumar: 53)” hanya berlaku bagi Muslim pengikut nabi Muhammad, dan tidak berlaku bagi kaum kafir dan musyrik (non-Muslim).
Menurut Al-Baqillani, semua ayat-ayat Qur’an tentang siksa neraka dan kekekalan siksa neraka ditujukan kepada kaum kafir dan musyrik. Kaum Muslim pengikut nabi Muhammad, berdasar ayat-ayat Qur’an dan Hadis, jika melakukan satu kebaikan akan mendapat pahala sepuluh kebaikan. Muslim pelaku dosa besar jika melakukan satu amal saleh tetap akan mendapat sepuluh lipat ganjaran. Sedangkan kaum kafir dan musyrik tidak ada kebaikan (meskipun melakukan amal baik) karena problem pokoknya adalah (1) tidak beriman kepada Allah menurut syariat Islam dan (2) tidak beriman kepada kenabian Nabi Muhammad. Inilah yang membuat mereka kekal di dalam siksa neraka.
Jadi, bagi ulama Sunni Abad Tengah umumnya, meskipun tidak semuanya, (1) Kekuasaan Allah seperti dibatasi oleh kalam-Nya sendiri tentang para penganut agama non-Islam, (2) Kekuasaan Allah seperti “tumpul” dan “lumpuh” ketika menyangkut keselamatan non-Muslim yang disebut oleh ulama Abad Tengah sebagai “kafir” dan “musyrik”. Allah tidak bisa menyelamatkan non-Muslim meskipun Dia berkuasa penuh dan meskipun non-Muslim itu banyak amal salehnya.
Padahal Allah adalah Tuhan berbagai macam alam dan berbagai jagat semesta (Rabbul ‘Alamin), bukan hanya satu jagat semesta seperti yang kita kenal. Kekuasaan-Nya, bukan hanya tidak terbatas dan tidak bisa diukur, tapi juga tak bisa digambarkan dengan kata-kata saking luas kekuasaan-Nya. Dan Dia adalah Tuhan seluruh manusia, bukan hanya milik satu ras dan bangsa manusia. kalau kita percaya bahwa kekuasaan Allah sangat luas dan tak terbatas, sangat mungkin dong –Allah di akhirat kelak memberi nikmat surga kepada orang-orang saleh dari berbagai agama dan keyakinan, selain pengikut Nabi Muhammad.
Namun, bagi ulama Sunni Abad Tengah, bahkan bagi para ulama Sunni hari ini, juga bagi elite-elite agama Yahudi dan Kristen, kemahakuasaan Tuhan itu hanya milik kelompok mereka masing-masing. Tuhan Allah menjadi “terbatas” dan “kerdil”.
Banyak sarjana Muslim modern yang tidak setuju dengan pandangan eksklusif di atas.