Saya tidak mendiskusikan apakah Qur’an itu “the Word of God” sekaligus the “Word of Muhammad” karena diinformasikan oleh “bahasa” Nabi Muhammad kepada kita, atau bahwa “the Qur’an is both human and divine” sekaligus seperti dalam teori Nasr Hamid Abu Zayd dan Fazlur Rahman. Bukan itu konsen saya. Biarlah itu mas Mun’im Sirry katanya sedang menulis soal itu.

Bagi saya, dan juga mungkin teman-teman, meskipun bolak balik baca Qur’an, sejak remaja, sejak di Pesantren, selain tidak pernah bosan, atau karena ada aura dan magnet spiritual, dan jadi penerang mata batin dan insight intelektual kita, Qur’an, bagi saya, menyimpan banyak kepenasaran, dalam arti kuriositas (curiosity). Karena itu dalam beberapa tahun terakhir, di luar dan di dalam Ramadhan, apalagi melihat fenomena orang-orang sering mengutip ayat Qur’an, saya membaca Qur’an, tentu saja di rumah tidak di trotoar, tapi dengan perenungan dan penasaran, terutama terhadap ayat-ayat yang sensitif dan sering memunculkan kontroversi.

Selain berlimpah informasi, tuntunan, janji, ancaman, dan isyarat-isyarat ilmiah (sejarah, antropologi, sosiologi, filsafat, komunikasi dll.), Qur’an juga, menurut saya, dalam banyak isu-isu yang ia kemukakan kepada pembacanya, di satu sisi berisi penjelasan yang utuh sehingga tidak perlu penafsiran dari pembaca, di sisi lain kadangkala belum tuntas namun sudah pindah ke tema lain, dan terdapat banyak sekali istilah (terminologi) yang oleh Qur’an kemudian diberi pengertian yang banyak, beragam dan kompleks. Misalnya pengertian kafir, zalim, munafik, fasik dll. ternyata pengertiannya “plural” tidak “singular” dan jenisnya “heterogen” tidak “homogen”.

Saya melipat-lipat banyak halaman yang membuat saya penasaran dan berimajinasi lebih jauh. Misalnya istilah “dzalim” atau “dzalimin” dalam surat Al-A’raf, dan saya menemukan dalam surat-surat yang lain:

  …اَنْ لَّعْنَةُ اللّٰهِ عَلَى الظّٰلِمِيْنَ

اَلَّذِيْنَ يَصُدُّوْنَ عَنْ سَبِيْلِ اللّٰهِ وَيَبْغُوْنَهَا عِوَجًاۚ وَهُمْ بِالْاٰخِرَةِ كٰفِرُوْنَ     

Ternyata dijelaskan oleh ayat selanjutnya sebagai “orang-orang yang menghalangi orang berbuat baik (di jalan Allah), dan mereka sebenarnya adalah orang yang kafir (menolak) adanya kehidupan akhirat” . Jadi zalim, yang sering diartikan ‘menganiaya’ atau “menempatkan sesuatu bukan pada tempatnya”, ternyata boleh jadi artinya orang yang percaya kepada Tuhan tapi tidak percaya akhirat; orang yang tidak percaya kepada Tuhan dan tidak percaya akhirat, atau orang yang tidak suka kepada orang beragama yang berbuat baik, itulah sebenarnya dia “kafir terhadap akhirat”. Mana yang lebih mendekati makna seperti yang diinginkan ayat itu?

Saya melihat problem serius terhadap para penceramah yang sering mengutip satu ayat Qur’an tapi penjelasan “ayat-ayat sebelum dan sesudah” ayat yang dikutip itu, diabaikan. Dengan kata lain, ia “mencomot” atau “melepaskan” satu ayat dari keseluruhan konteks ayat itu. Dan ini banyak terjadi. Misalnya ayat dalam surat al-Furqan ini:

وَقَالَ الَّذِيْنَ لَا يَرْجُوْنَ لِقَاۤءَنَا لَوْلَآ اُنْزِلَ عَلَيْنَا الْمَلٰۤىِٕكَةُ اَوْ نَرٰى رَبَّنَا ۗ لَقَدِ اسْتَكْبَرُوْا فِيْٓ اَنْفُسِهِمْ وَعَتَوْ عُتُوًّا كَبِيْرًا

يَوْمَ يَرَوْنَ الْمَلٰۤىِٕكَةَ لَا بُشْرٰى يَوْمَىِٕذٍ لِّلْمُجْرِمِيْنَ وَيَقُوْلُوْنَ حِجْرًا مَّحْجُوْرًا

وَقَدِمْنَآ اِلٰى مَا عَمِلُوْا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنٰهُ هَبَاۤءً مَّنْثُوْرًا

Saya melihat dua orang penceramah yang sangat terkenal di Youtube, termasuk beberapa mufasir klasik, yang menegaskan bahwa ayat-ayat itu berbicara tentang “orang kafir” dan “musyrik”, dan “non-muslim” otomatis kafir dan musyrik. Karena itu, menurut dua penceramah itu, semua amal baik “non-Muslim” di dunia tidak ada pahalanya di akhirat. Semua prestasi dan amal baik mereka sia-sia, mengapa begitu? Dengan mengutip satu ayat saja “waqadimnā ilā mā ‘amilū min ‘amalin…” kedua penceramah yang sangat terkenal itu dengan yakin menegaskan bahwa, berdasar ayat “waqadimnā..” semua amal saleh “non-muslim” akan segera “dibayar lunas” di dunia saja, tapi di akhirat—kasihan mereka—tidak akan mendapat pahala apa-apa. Di akhirat semua amal saleh “non-muslim” hanya akan jadi debu yang beterbangan; hilang; tidak ada artinya; gone with the wind.

Padahal sebelum ayat “waqadimnā”, dua ayat di atas sedang menjelaskan orang-orang yang tidak ingin bertemu Tuhan di akhirat, mungkin karena tidak percaya Tuhan, sambil mereka ngomong “(kalau memang Tuhan ada) coba tunjukkan malaikat atau Tuhan, kami ingin lihat!” Ungkapan ini sering kita dengar dari Failusuf atau saintis ateis “coba deh kasih kami sign atau clue kalau Tuhan itu ada”. Saya memahami tiga ayat dia atas tentang “kaum Ateis”. Terhadap orang-orang ini, Qur’an menyebut mereka sebagai “arogan” (istakbarū) dan “mujrimīn”. Nah, dalam bahasa Arab kata “jarimah” sering diartikan “tindakan kriminal”, dan kata “mujrim” adalah orang yang berdosa (besar) atau pelaku kriminal. Tapi dalam ayat ini kaum Ateis disebut “mujrimin”. Jadi, Qur’an memberi banyak arti, bukan hanya kepada “mujrim” dan “mujrimīn” tapi kepada banyak istilah (terminologi) yang disebut oleh Qur’an yang selama ini kita hanya tahu satu atau dua arti saja.

Kembali kepada ayat “waqadimnā”, padahal non-Muslim, katakanlah Yahudi, Kristen dan Hindu, mereka percaya kepada Tuhan, percaya kepada hari pembalasan di akhirat, berharap berjumpa Tuhan di akhirat, dan percaya kepada konsep surga dan neraka (dengan istilah mereka sendiri). Jadi, saya bingung kepada banyak penceramah itu, kenapa “non-muslim” yang banyak amal saleh dan karyanya disamakan dengan “kaum Ateis” dalam tiga ayat di atas? Orang-orang awam tentu saja langsung percaya dengan ceramah ustaz-ustaz yang sangat populer itu.

Contoh kedua adalah surat al-Tawbah ayat 101 dan 102:

وَاٰخَرُوْنَ اعْتَرَفُوْا بِذُنُوْبِهِمْ خَلَطُوْا عَمَلًا صَالِحًا وَّاٰخَرَ سَيِّئًاۗ عَسَى اللّٰهُ اَنْ يَّتُوْبَ عَلَيْهِمْۗ اِنَّ اللّٰهَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ

خُذْ مِنْ اَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيْهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْۗ …

Ayat 102 “Khudz min Amwālihin…” sering dikutip oleh para ustaz untuk melegitimasi kewajiban zakat atau sunahnya sedekah. Zakat dan sedekah tentu saja sangat baik, diwajibkan dan dianjurkan dalam ayat-ayat yang lain. Tapi khusus untuk ayat “Khudz min Amwālihim…” saya mendengar, bukan hanya para penceramah yang menggunakan ayat ini, tetapi juga pimpinan-pimpinan di banyak kantor dan lembaga negeri dan swasta mewajibkan “zakat profesi” kepada para pegawainya setiap bulan. Dasarnya apa? para pimpinan lembaga itu kemudian mengutip ayat “Khudz min Amwālihim…” kalau perlu dengan dipaksa karena para pegawai itu bekerja di SK-kan oleh pimpinan lembaga.

Padahal kalau membaca ayat di atasnya (101) dua ayat utuh itu (101 dan 102) sedang membicarakan orang yang melakukan “dosa profesi”: mark up anggaran, manipulasi data keuangan, nilep anggaran, bikin anggaran fiktif, melakukan pencucian uang (money laundering) atau tindakan kejahatan dan kriminal lainnya. Lalu ia mengaku dan bertobat (suratnya juga surat al-Tawbah). Maka ambillah sebagian uang mereka—para kriminal ini–untuk dibersihkan (fisik dan jiwanya) dengan cara disedekahkan (atau dikembalikan kepada negara sesuai prosedur hukum). Tetapi pertanyaannya: apakah sebagian besar pegawai negeri, swasta, dan para profesional lainnya sering dan terbiasa melakukan tindakan kriminal di atas? Apakah tidak ada pegawai yang jujur dan saleh? Mengapa harus digeneralisir (bahwa semua pegawai dan profesi adalah jahat) dan harus diambil zakatnya dengan cara mengutip ayat “Khudz min Amwalihim…”

Saya bukan ahli Qur’an dan bukan Ahli Tafsir, dalam arti tidak memiliki kredensial akademik soal itu. Tapi sebagai pembaca dan pembelajar al-Qur’an sepanjang hayat, saya kira ada banyak sekali ayat-ayat Qur’an dengan konteks-konteks khusus dan umum yang harus dibaca secara cermat. 

Saya sering bilang kepada mahasiswa saya bahwa al-Qur’an –dengan lebih dari 6 ribu ayat– adalah kitab suci yang “liberal” dalam arti memiliki makna, pengertian, konteks, struktur, geniusitas, kompleksitas, pengetahuan, model komunikasi, keluasan berpikir dan mendalam. Ada banyak sekali contoh soal itu. Misalnya kata Din dalam Qur’an. Tentu saja artinya banyak: bisa berarti agama, pembalasan (al-jaza wa al-hisab), ketundukan dan kepatuhan (al-khudhu’ wal inqiyad) dan lain-lain. Tapi yang menarik adalah ketika “Din” menjadi “agama” dan Din yang benar adalah “Din Islam”. Ada juga kata Adyan dalam Qur’an, tapi Din Islam “mengalahkan” din-din yang lain (liyudzhirohu ala’d diini kullihi). Karena itu bagi sebagian “Muslim ideologis” Din itu hanya Islam.

Dalam Kristen juga sama, terutama Kristen Eropa Barat di abad-abad ke-18 dan 19 atau abad discovery (abad-abad ketika orang Kristen “menemukan” agama-agama lain di Timur). Bagi Kristen, “Religion” itu ya Christianity. Kristen itu “Religion” sama dengan Islam itu “Din”. Yang lucu, orang Kristen di abad-abad itu menyebut agama Kristen sebagai “Christianity” (bukan Christianism) tapi menyebut agama-agama non-Kristen dengan “Isme”: Buddhism (me), Hinduism (me), Konfusianism (me), Taoism (me) dan agama Islam dipanggil dengan “Mohammadanism” karena dianggap ciptaan nabi Muhammad. Isme itu kan paham atau ideologi buatan manusia. Padahal agama-agama non-Kristen itu berasal dari Tuhan (melalui wahyu).

Orang Kristen Eropa Barat kemudian membuat “patokan” ciri-ciri agama: harus punya konsep Tuhan, harus punya nabi, harus punya kitab suci yang tertulis (dalam bahasa mereka “Scripture” atau tulisan), harus punya ajaran larangan dan kewajiban dan lain-lain. Kalau tidak punya “patokan” ciri-ciri itu maka satu keyakinan tidak bisa disebut “agama” (Religion atau Din). Patokan ini—yang bias agama-agama besar dan modern—kemudian dipakai oleh Orde Baru dan Perguruan Tinggi Islam. Dengan patokan itu, ada banyak Aliran Kepercayaan dan Kejawen atau keyakinan-keyakinan asli Nusantara—yang lebih dahulu eksis dari agama-agama modern–tidak diakui dan tidak bisa disebut “Agama”, bahkan sampai hari ini. Padahal bagi para pemeluknya keyakinan mereka ya “agama” atau “way of life”.

Bagaimana dengan Qur’an? Dalam Surat Al-Kafirūn, Nabi menyebut keyakinan orang Arab pra Islam dengan “Din”: “Lakum dīnukum waliya Dīni” (Bagimu agama-mu, bagiku agamaku). Lho Qur’an kok menyebut keyakinan religius orang Arab dengan kata “Din”. Sejauh bacaan saya tentang “agama” orang Arab abad ke-7 pra-Islam di masa Nabi Muhammad hidup, ada beberapa poin: Apakah mereka punya tuhan? Ada, ada Lata, Manat, Uzza, Hubal dan dewa-dewa yang lain. Apakah mereka punya ritual/sembahyang? Punya. Ibn Hisyam menjelaskan soal sembahyang mereka, haji mereka, kurban mereka untuk dewa Hubal dll. Tetapi apakah mereka punya kitab suci? Gak ada. Mereka punya nabi? Gak ada. Mereka punya doktrin eskatologi? Gak ada. Mereka punya seperangkat “organized religion” seperti agama-agama besar? Gak ada.

Tapi keyakinan mereka oleh Qur’an dipanggil dengan “Din”. Apa gak hebat Qur’an itu?? Ada banyak contoh ayat-ayat yang lain yang menggambarkan bahwa Qur’an berbicara tentang dirinya secara mengejutkan dan membuka cakrawala kita.

Dengan keagungan, keluasan horizon dan kehebatan Qur’an itu, kita gak perlu marah jika beberapa sarjana Muslim mengkritik sebagian muslim sekarang yang  “mengerdilkan” Qur’an, “mereduksinya”, menjadikannya “ideologi tertutup” dan menafsirkannya dalam satu tafsir tunggal sembari menyalahkan penafsiran orang lain yang berbeda. Inilah yang oleh Nasr Hamid Abu Zayd disebut sebagai “ideologisasi Qur’an”: Qur’an menjadi “alat ideologi” kaum Sunni, Syiah, dan komunalitas-komunalitas terbatas dan sempit.

Kalau kita setuju slogan “Kembali kepada Qur’an dan Sunnah” (sebenarnya kita tidak pernah pergi dari Qur’an), maka wawasan liberal Qur’an yang luas itu jangan “dipenjara” dalam ideologi-ideologi dan “korpus tertutup”…

Sumber: FB Mediaa Zainul Bahri