Oleh: Dr. H.M. Zuhdi Zaini, MA
“Rukun agama” ada tiga, Iman, Islam dan Ihsan. Hal ini diilustrasikan dalam al-Qur’an sebagai pohon yang rindang.
Allah Ta’ala berfirman,
أَلَمْ تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ أَصْلُهَا ثَابِتٌ وَفَرْعُهَا فِي السَّمَاءِ تُؤْتِي أُكُلَهَا كُلَّ حِينٍ بِإِذْنِ رَبِّهَا ۗ وَيَضْرِبُ اللَّهُ الْأَمْثَالَ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ
“Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat.” (QS. Ibrāhīm/14: 24-25)
Akar yang menghujam kedalam tanah adalah Iman, daun nan rindang adalah Islam dan buah yang manis dan bermanfaat adalah Ihsan.
Di dalam ayat lain, Allah Ta’ala berfirman,
لَيْسَ الْبِرَّ أَنْ تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلَٰكِنَّ الْبِرَّ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَالْمَلَائِكَةِ وَالْكِتَابِ وَالنَّبِيِّينَ وَآتَى الْمَالَ عَلَىٰ حُبِّهِ ذَوِي الْقُرْبَىٰ وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَالسَّائِلِينَ وَفِي الرِّقَابِ وَأَقَامَ الصَّلَاةَ وَآتَى الزَّكَاةَ وَالْمُوفُونَ بِعَهْدِهِمْ إِذَا عَاهَدُوا ۖ وَالصَّابِرِينَ فِي الْبَأْسَاءِ وَالضَّرَّاءِ وَحِينَ الْبَأْسِ ۗ أُولَٰئِكَ الَّذِينَ صَدَقُوا ۖ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُتَّقُونَ
“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (QS. al-Baqarah/2: 177)
Dari dua ayat di atas dapat dipahami bahwa;
Iman adalah pondasi, Islam adalah lahiri dan Ihsan adalah esensi.
Esensi Islam adalah ihsan, akhlak mulia dan budi pekerti luhur. Inilah jalan ruhani yang pernah dilewati oleh para nabi dan para salik. Orang-orang yang sedang menapaki jalan ini sedang menikmati rindu Rasulallah saw dan rindu Ilahi. Allah Ta’ala berfirman,
“Apabila kalian hendak merasakan manisnya cinta-Ku, maka ikutilah jalan ruhani kekasih-Ku, Muhammad utusan-Ku.”
Menapaki jalan “spiritual” adalah bangunan ihsan.
Rasulallah saw bersabda,
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: الإحسان أن تعبد الله كأنك تراه ، فإن لم تكن تراه فإنه يراك .رواه البخاري.
“Rasulallah saw bersabda, ihsan adalah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya. Apabila engkau tidak dapat melihat-Nya, namun Allah melihatmu.” (HR al-Bukhārī)
هَلْ جَزَاءُ الْإِحْسَانِ إِلَّا الْإِحْسَانُ
Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan (pula). (QS. al-Raḥmān/55: 60)
Orang-orang yang baru bergelut dalam kajian lahiri (fiqh) terkadang tidak paham melihat orang-orang yang sedang bercinta dengan kekasih-Nya, melalui jalan ihsan ini. Islam dalam pendekatan sufistik dan irfani akan memberikan manisnya rasa cinta dan lezatnya ibadah karena lezatnya ibadah dan manisnya cinta hanya dapat dinikmati oleh para pencinta.
شوقي اليك لا يصان ببيان
“Kerinduanku pada-Mu tidak dapat digambarkan dengan kata-kata.”
Para pencinta selalu mengungkapkan kerinduannya dengan kata-kata, walaupun kata-kata tak dapat mewakili rasa cinta. Bahasa hati yang disampaikan oleh para pencinta belum sempurna hingga teraktualisasi dalam perbuatan.
Para pencinta selalu merealisasikan cintanya dengan amal kebaikan. Orang-orang yang bercinta kepada Allah Ta’ala selalu mendahulukan kepentingan orang lain daripada dirinya sendiri (itsar).
Allah Ta’ala berfirman,
وَالَّذِينَ تَبَوَّءُوا الدَّارَ وَالْإِيمَانَ مِنْ قَبْلِهِمْ يُحِبُّونَ مَنْ هَاجَرَ إِلَيْهِمْ وَلَا يَجِدُونَ فِي صُدُورِهِمْ حَاجَةً مِمَّا أُوتُوا وَيُؤْثِرُونَ عَلَىٰ أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ ۚ وَمَنْ يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshar) ‘mencintai’ orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). Dan mereka (Anshor) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang orang yang beruntung. (QS. al-Ḥasyr/59: 9)
Suatu hari ada seorang ulama besar berjalan bersama murid-muridnya. Di tengah jalan sang guru jatuh hingga badannya berdarah. Sang guru menangis tersedu-sedu dan beristigfar tiada henti.
Melihat sang guru terjatuh, bersimbah darah dan menangis, muridpun iba dan bertanya, “Tuan menangis karena badan tuan berdarah dan sakit?” Sang guru menjawab, “aku menangis bukan karena badanku berdarah, yang aku tangisi adalah rumput yang patah karena tertimpa badan badanku.”
Jalan ruhani yang ditempuh dalam menggapai cinta Ilahi adalah,
- Selalu mengingat Sang Kekasih
Bahasa verbal memang tidak dapat mewakili makna cinta, namun bahasa verbal selalu ada dalam bercinta. Mengingat Allah Ta’ala melalui lisan disebut “al-dzikr al-lisān.”
الهي انت مقصودي ورضاك مطلوبي فاعطني محيتك وبقربتك
“Tuhanku Engkaulah tujuan hidupku, ridho-Mu yang kucari, maka berilah kepadaku cinta-Mu dan dekat selalu dengan-Mu.”
“Takbir, tahmid, tasbih, taqdis” selalu diutarakan dalam bahasa verbal, namun itu semua hanya sarana awal dalam bercinta. Para pencinta meneruskan rindunya dengan bahasa hati atau “dzikr bi al-Qalbi,” mengingat dengan hati. Ungkapan hati lebih luas dari bahasa lisan. Kesendirian atau “khalwat” di sepertiga malam adalah waktu yang dinanti untuk bercumbu dengan sang kekasih.
وَبِالْأَسْحَارِ هُمْ يَسْتَغْفِرُونَ
“Dan selalu memohonkan ampunan diwaktu pagi sebelum fajar.” (QS. al-Dzāriyāt/51: 18)
- Selalu bersama sang Kekasih
Syarat utama ihsan adalah selalu bersama Allah Ta’ala, karena seseorang yang selalu bersama kekasihnya akan merasakan ketenangan.
Allah Ta’ala berfirman,
وَأَنْفِقُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ ۛ وَأَحْسِنُوا ۛ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
“Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (QS. al-Baqarah/2: 195)
Allah Ta’ala selalu bersama orang-orang yang “ihsan.”
Kesadaran selalu bersama Allah Ta’ala adalah modal utama dalam menapaki jalan-jalan ruhani. Merasa selalu bersama Allah (muraqabah) akan melahirkan perbuatan yang baik dan terhindar dari akhlak yang buruk.
Orang merasa selalu bersama Allah Ta’ala tidak akan tertipu oleh rayuan dunia. Karena cinta dunia adalah palsu.
- Berkorban untuk Sang Kekasih
Dalam terminologi Islam berqurban bukanlah mengobankan diri untuk orang lain tetapi memberikan yang terbaik untuk mendekatkan diri kepada sang kekasih.
Suatu hari Nabi Ibrāhīm as menyembelih banyak hewan qurban demi kekasih-Nya. Malaikat memujinya seraya berkata, “hai Ibrahim sungguh mulia perbuatanmu untuk Tuhanmu.” Ibrāhīm menjawab, “jangankan unta, sapi dan kambing, seandainya aku punya anak akan aku qurbankan untuk Kekasihku.”
Saat Nabi Ibrāhīm as dan keluarganya sudah tinggal di Mekah, lalu Allah Ta’ala mengingatkan Ibrahim akan janjinya dalam mimpinya, berdialog dengan putranya.
فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَىٰ فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرَىٰ ۚ قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ ۖ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ
“Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrāhīm, Ibrāhīm berkata, hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu. Ia menjawab, hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar” (QS. al-Shaffāt/37: 102)
Para pencinta akan memberikan yang terbaik untuk kekasihnya. Menempuh jalan-jalan ruhani akan menerangi hati dan menjernihkan pikiran. Orang yang menapaki jalan ini akan mampu dan sanggup memberikan yang terbaik untuk kekasihnya dan tidak ada rasa berat sedikitpun di dalam hatinya.
Allah Ta’ala berfirman,
لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّىٰ تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ ۚ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ
“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.” (QS. Āli Imrān/3:92)
Nabi Ibrahim, “khalilullāh” sudah menempuh jalan ruhani dengan berqurban yakni mendekatkan diri kepada Kekasihnya dengan memberikan yang terbaik yang dimilikinya. Menempuh jalan ruhani adalah keindahan bagi para pencinta sejati. Wallahu a’lām
Sumber: IQTAF_News