Gedung FU, USHUL NEWS – Situasi kondisi kehidupan pasca Pandemi Covid-19 sangat mempengaruhi berbagai aspek kehidupan manusia, bahkan banyak hal juga yang berubah sebagai upaya dan bentuk adaptasi Era New Normal. Lantas bagaimana dengan kajian Islam sejauh ini? Untuk menjawab problem ini, Program Studi (Prodi) Ilmu Tasawuf (IT), Fakultas Ushuluddin (FU), UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menggelar Studium Generale yang dihelat secara hybrid, baik online via zoom meeting maupun offline di Ruang Teater H.A.R. Partosentono, Gedung FU Lantai 4. Senin (19/9/2021).
Studium Generale IT yang bertajuk “Kajian Islam di Era New Normal: Tantangan dan Prospek” ini menghadirkan 3 narasumber ahli, yakni Dr. KH. M. Luqman Hakim, M.A. (Pimpinan Ma’had Aly Tasawuf PP Raudhatul Muhibbin Bogor), Dr. Alfi Julizun Azwar, M.Ag. (Dosen Fakultas Ushuluddin UIN Raden Fatah Palembang), Muhammad Abdul Ghoffar (CEO Penerbit Al-Mahira), dan dimoderatori oleh Lisfa Sentosa Aisyah, M.A. (Dosen Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta). Dihadiri juga oleh 537 partisipan baik secara offline maupun online.
Sambutan Ketua Prodi Ilmu Tasawuf, Ala’i Nadjib, M.A. mengatakan, mahasiswa baru Fakultas Ushuluddin sangat antusias mengikuti Studium Generale ini.
“Terlihat sangat antusias, melihat fakta bahwa mahasiswa baru yang ikut dalam Studium Generale ini berjumlah lebih kurang 537 partisipan. Memang tidak bisa hadir semuanya secara langsung di Ruang Teater ini, karena kita masih dalam keadaan adaptasi, maka kita gelar secara hybrid, sehingga banyak juga yang ikut via zoom meeting,” paparnya.
Studium Generale ini, Ia menambahkan, merupakan bentuk kerjasama dengan UIN Raden Fatah Palembang.
“Tema Studium Generale pagi ini begitu penting, karena setelah praktis hampir 3 tahun kita belajar online, di semester inilah untuk pertama kali UIN Jakarta menggelar kelas dengan full tatap muka. Terima kasih sudah bergabung, ini sebagai sebuah rangkaian pengenalan akademik untuk mahasiswa baru. Semoga kita bisa mencerna ilmu pengetahuan dari para ahlinya hari ini,” sambungnya,” katanya.
Dekan Fakultas Ushuluddin, Dr. Yusuf Rahman, M.A. mengawali Studium Generale IT dengan menyampaikan bahwa tema Studium Generale kali ini penting dan sangat relevan dengan keadaan hari ini dalam bidang Tasawuf.
“Pagi ini akan diberikan kajian Tasawuf yang sangat penting untuk kita ikuti. Terutama tema kita tentang kajian Islam di new normal, ini penting karena merupakan salah satu respons dari situasi dan kondisi kita saat ini, tentu saja akan disampaikan juga terkait bagaimana tantangan dan prospeknya,” jelasnya.
Yusuf mengajak seluruh partisipan untuk bersama-sama mengikuti paparan semua narasumber dengan baik. Tidak hanya terbatas pada kajian Tasawuf saja, sehingga semua mahasiswa bisa ikut serta dalam Studium Generale ini.
“Terima kasih untuk semua yang terlibat. Tema kali ini sangat menarik dan kekinian, bagaimana manusia dituntut untuk bisa beradaptasi dengan kemajuan zaman, terutama teknologi informasi, dan bagaimana benturannya dengan kajian Islam, khususnya dalam Tasawuf,” paparnya lagi.
Moderator Studium Generale, Lisfa Sentosa Aisyah, mengawali diskusi dengan membacakan biodata singkat dari para narasumber yang sudah hadir.
“Studium Generale ini dihadiri berbagai keilmuan yang mewakili rumpun keilmuan di Fakultas Ushuluddin. Akan ada pemaparan materi yang menarik, di antaranya tentang Islam Revolutif dengan berbagai perspektifnya, kedua tentang Takhalli-Tahalli-Tajalli sebagai Metode Pengembangan SDM Sufistik, dan terakhir tentang Peluang dan Tantangan dalam Penerbitan Al-Quran Pasca Pandemi,” jelas Lisfa.
Pemateri pertama, Dosen Fakultas Ushuluddin UIN Raden Fatah Palembang, Dr. Alfi Julizun Azwar, M.Ag. menyampaikan materi tentang Islam Revolutif: dari Tradisi MTQ Menuju ke Peradaban MQQ.
“Islam revolutif ini bermaksud melihat isu-isu Islam dalam berbagai kontekstualnya. Di antaranya isu-isu keagamaan di masa Pandemik Covid-19 di antaranya soal jarak shalat, mengundurkan libur keagamaan, keadilan hukum ulama, studi di pesantren dan madrasah sampai penundaan ibadah haji dan umrah juga soal MTQ,” ujarnya.
Pertanyaannya, Ia menambahkan, mengapa MTQ harus direvolusi? Bagaimana merevolusinya dan apa implikasinya? Karena cabang perlombaannya yang stagnan, bidang keilmuan juga hanya sebatas ilmu tertentu saja, keterlibatan personal itu tidak banyak berubah, termasuk pesertanya.
“Dasar pemikirannya adalah lafaz Iqra lebih luas dari Tilawah, al-Qur’an sebagai pedoman bagi seluruh umat manusia untuk keselamatan manusia di dunia dan akhirat dan bergesernya revolusi Industri 4.0 menjadi Society 5.0. Bagaimana Al-Quran ini bisa didakwakan secara luas. Jadi nuansanya lebih ke peradaban, bukan hanya tradisi,” paparnya.
Pemateri kedua, Pimpinan Ma’had Aly Tasawuf PP Raudhatul Muhibbin Bogor, Dr. KH. M. Luqman Hakim, M.A., memaparkan materi tentang Takhalli-Tahalli-Tajalli sebagai Metode Pengembangan SDM Sufistik.
“Ini 3 istilah yang khas di bidang tasawuf, yang mempertanyakan secara psikologis keberadaan atau bahkan hubungan kita dengan Tuhan. Bagaimana keberadaan Tuhan bisa kita rasakan. Tasawuf itu soal sawang sinawang, saling memandang makhluk,” katanya.
Menurutnya, sesungguhnya kaya itu kaya jiwa. “Menurut perspektif tasawuf, ia merasa cukup dengan Tuhan, hatinya bukan pikirannya. Makanya kita harus senantiasa menyebut asma Allah, agar bisa terus terkoneksi antara hati kita dengan Allah,” pungkasnya.
“Sehingga, sebetulnya tidak ada revolusi dalam akhlak, yang ada itu menyempurnakan akhlak. Makanya di Qur’an itu ada bab sabar, bab tawakal, bab ridho, itu menunjukkan ada evolusi, pertumbuhan, bukan revolusi,” imbuh dia.
Pemateri ketiga, CEO Penerbit Al-Mahira, Muhammad Abdul Ghoffar, lebih memaparkan tentang Peluang dan Tantangan dalam Penerbitan Al-Quran Pasca Pandemi, termasuk juga inovasi-inovasi dalam menerbitkan Al-Quran.
“Bagaimana kita bisa bertahan di era pandemik. Karena faktanya, banyak penerbit yang gulung tikar. Tapi ternyata ada peluang bila menerbitkan Al-Quran, bahkan masih sangat besar peluangnya. Mengingat bangsa kita mayoritas muslim. Banyak juga kesadaran masyarakat bahwa Al-Quran sangat penting ditanamkan pemahamannya kepada generasi muda dan anak-anak,” jelas Ghoffar.
Dan untuk tantangannya, Ia menambahkan, Jenis-jenis mushaf yang dicetak di Indonesia mengalami perubahan yang dinamis.
“Misalnya, diakomodasinya suplemen dalam mushaf, seperti transliterasi dan tajwid warna, bentuk tampilan dan perwajahan mushaf. Berdasarkan data Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an (LPMQ) Kementerian Agama, saat ini ada 288 penerbit mushaf di Indonesia, tapi hanya 5% dari jumlah tersebut yang memiliki mesin percetakan. Ini adalah tantangan yang justru menjadi peluang,” tukasnya. (fu/man)