Gedung FU, USHUL NEWS – Filsafat Islam di Barat memiliki ciri kritisisme yang kuat, terutama dalam bingkai rasional dan empiris. Hal tersebut berpengaruh mewarnai tidak hanya tradisi intelektualisme Barat, tetapi juga tradisi Timur atau dalam konteks ini tradisi intelektualisme Islam. Di antara filsuf besar yang muncul pada abad ke-12 di Andalusia/Spanyol adalah Ibn Rusyd. Melalu penerjemahan naskah-naskahnya, Ia dijuluki sebagai “commentator” dan memberikan pengaruh pada perkembangan filsafat Islam di Barat.
Hal inilah yang melatarbelakangi pentingnya kajian Filsafat Islam di Spanyol dilakukan. Kajian berseri yang dihelat oleh kerjasama antara Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dengan Sadra Institute ini diawali dengan Stadium General yang bertajuk ‘Pertemuan Tradisi Besar Pemikiran Barat dan Timur’, melalui zoom meeting. Senin (08/03/2021).
Stadium General kali ini mengundang 2 narasumber, yaitu Guru Besar Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Prof. Dr. Rd. Mulyadhi Kartanegara, MA, dan Direktur Pascasarjana IAIN Ponorogo Dr. Aksin Wijaya, M.Ag, yang dimoderatori oleh Drs. Agus Darmaji, M.Fils.
Ketua Program Studi Aqidah dan Filsafat Islam, Dra. Tien Rohmatin, M.Ag selaku host diskusi, mengapresiasi antusiasme para peserta webinar.
“Terima kasih kepada para narasumber yang bersedia memberikan materinya, antusiasme para peserta yang bergabung dalam kajian ini juga luar biasa,” katanya.
“Mewakili Pak Dekan, perlu diketahui bahwa kegiatan ini merupakan kajian keilmuan yang pertama di tahun 2021, yakni kajian tentang filsafat Islam secara berseri. Dan hari ini adalah pertemuan pertama, yang nanti akan dilanjutkan dengan rangkaian tema yang telah disiapkan. Diskusi ini bekerja sama dengan Sadra Institute,” jelas Tien.
“Dalam seri diskusi ini, kita akan banyak membahasa tentang 10 karya Ibn Rusyd. Setiap diskusinya akan diantarkan oleh 2 sampai 3 narasumber, baik dari UIN, Sadra, maupun dosen-dosen umum di seluruh Indonesia. Dari sini kita akan mengenal banyak tentang Ibn Rusyd, baik dari sisi kehidupannya, pemikirannya, karya-karyanya, serta peran besarnya dalam perkembangan pemikiran Islam di Eropa,” imbuhnya.
Selaku pemateri pertama, Aksin Wijaya, dalam pemaparan materinya menjelaskan, Islam itu walaupun hadir dari Tuhan, yang konon katanya sudah ada di lauhul mahfudz, namun tetap harus ada dialog dengan peradaban manusia.
“Tanpa adanya dialog dengan peradaban manusia, Islam akan mati dan ketinggalan zaman. Dialog itu melahirkan berbagai disiplin keilmuan Islam. Dialog Islam dengan peradaban Arab, dengan epistemologi Bayani melahirkan disiplin keilmuan Fiqh dan Ilmu Kalam. Dialog Islam dengan Persia dengan epistemologi Irfani melahirkan Tasawuf, dan dialog Islam dengan Yunani dengan epistemologi burhani melahirkan Filsafat Islam,” paparnya.
“Para ahli sejarah biasanya membagi peta sejarah perkembangan pemikiran Islam, baik dalam fikih, ilmu kalam, tasawuf, maupun filsafat. Kalo kita berbicara tentang Filsafat Ibn Rusyd, kita tidak bisa melepaskan konteks, bahwa Ia merasa gelisah, karena filsafat Aristoteles itu sulit dipahami oleh umat muslim. Oleh karena itu dia memberi komentar. Sehingga, Ibn rusyd sebenarnya belum bisa dikatakan filsuf, karena dia tidak memiliki karya filsafat murni. Sehingga lebih cocok disebut komentator,” katanya lagi.
Sementara itu, Rd. Mulyadhi Kartanegara, dalam paparan materinya lebih banyak menyinggung soal jejak historis pemikiran Islam di Barat.
“Hal ini diawali oleh sikap toleransi kekhalifahan di Andalusia, yang memang kental dengan atmosfer intelektual. Menurut Karen Amstrong, kehidupan di Andalusia di bawah naungan kekhalifahan Andalusia, sebagaimana di kekhalifahan Islam lainnya, sangat damai,” ujarnya.
Selanjutnya, Prof. Mulyadhi juga menjelaskan terkait Averroism dan reaksi Eropa terhadapnya.
“Apa itu Averroism? Suatu mazhab dari filsafat abad pertengahan yang didasarkan pada penerapan karya-karya Ibn Rusyd. Terjemahan-terjemahan karya Ibnu Rusyd ke dalam bahasa Latin mulai tersedia luas di universitas-universitas yang bermunculan di Eropa Barat pada abad ke-13, serta diterima oleh para tokoh skolastik seperti Sigerus dari Brabant dan Boetius dari Dacia,” sambungnya.
“Istilah Averrois ditelurkan oleh Thomas Aquinas dengan pengertian yang terbatas pada monompsikosis dan panpskism dalam buku De unitate intellectus contra Averroistas. Dan Averroism di zaman Modern, bisa dilihat dari salah seorang pendukung terkemuka untuk kebangkitan pemikiran Averroes dalam masyarakat Islam, yakni Muhammed Abed al-Jabiri, dengan karya buku Critique de la Raison Arabe (Kritik terhadap nalar bangsa Arab) pada tahun 1982,” pungkasnya.
Stadium generale virtual ini diikuti lebih kurang 400 partisipan ini kemudian dilanjutkan dengan sharing dan tanya jawab. (man)