Ciputat, USHUL NEWS – Dalam rangka memperingati Hari Perempuan Internasional, Ikatan Alumni Fakultas Ushuluddin (IKALFU) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta kembali menggelar Serial Diskusi ke-5, kali ini fokus persoalan terkait dengan isu gender, khususnya penegakkan Hak Asasi Perempuan. Kegiatan ini digelar secara virtual via zoom meeting dan Live Streaming di Facebook Fakultas Ushuluddin. Sabtu (19/3/2022).

Diskusi yang bertajuk “Peluang dan Tantangan Penegakan Hak-hak Perempuan dalam Masyarakat Muslim” ini menghadirkan 2 narasumber yang ahli di bidangnya, yakni Ketua Komnas Perempuan Periode 2010-2014 Yunianti Chuzaifah, dan Pendiri dan Pengelola LetSS Talk (Let’s Talk about Sex and Sexualities), Farid Muttaqin. Serta dimoderatori oleh Alumni Aqidah dan Filsafat Islam 2009 Lyna Novianti.

Ketua IKALFU, Neng Dara Afifah, dalam sambutannya mengatakan, saat ini umat Islam itu sering kali dituduh sebagai pembuat problem terkait penegakan hak asasi perempuan, bukan sebagai pembuat solusi.

“Problem tersebut di antaranya pernikahan anak usia dini, kekerasan terhadap istri di rumah tangga, kekerasan seksual, pembatasan potensi perempuan, maraknya praktik poligami, penolakan perempuan sebagai manusia utuh yang memiliki derajat setara dengan pria, dan sejumlah masalah lain yang menghambat penegakan hak asasi perempuan,” katanya.

Padahal, Ia melanjutkan, sebaik-baiknya makhluk adalah manusia, dan perempuan ada di dalamnya, dan sebagai manusia kita ditugaskan untuk menjadi pemimpin di muka bumi ini.

“Di sekitar kita banyak sekali perempuan-perempuan muda hebat yang menjadi harapan kami semua dalam upaya penegakkan hak-hak asasi perempuan. Pada kesempatan ini, kita akan mendengarkan dari para narasumber terkait dengan penegakan hak-hak asasi perempuan. Bagaimana fakta-fakta atau cerita baik yang harus kita pertahankan tentang penegakan hak asasi manusia dalam konteks muslim, beserta dengan tantangan-tantangan yang ada, baik di lingkup Indonesia maupun di dunia,” imbuhnya.

Lyna Novianti, selaku moderator diskusi mengatakan, pemahaman tentang perempuan sebenarnya bukan hal baru, namun faktanya masih banyak sekali isu-isu dan problem tantang perempuan yang terus berkelindan, baik yang terjadi pada ranah nasional maupun internasional.

“Dalam kesempatan yang baik ini kita bakal belajar hal-hal baru dari para narasumber yang expert di bidangnya. Diharapkan kegiatan ini menjadi refleksi bagi kita semua terkait dengan hal-hal krusial dalam hak asasi manusia. Misalnya, beberapa tahun terakhir ini telah terjadi pelanggaran HAM Perempuan seperti larangan menggunakan jilbab sebagai bentuk intoleransi,” ujarnya mengawali diskusi.

Ketua Komnas Perempuan Periode 2010-2014, Yunianti Chuzaifah mengatakan, relevansi ke-Ushuluddin-an dalam dunia HAM perempuan ada pada wajah filsafat dan perbandingan agama.

“Filsafat sebagai ‘gate’ masuk ke isu HAM, seperti humanism, kemerdekaan berpikir, hak berekspresi keushuluddinan dalam dunia HAM perempuan. Sedangkan dalam perbandingan agama, ada pada hak berkeyakinan dan menjalankannya, non derogable right, tidak dapat dikurangi,” paparnya.

Lebih lanjut Ia menjelaskan, isu-isu krusial perempuan di komunitas Muslim di antaranya adalah terkait kekerasan seksual dan isu mahram, sunat perempuan dan hak anak, perkawinan anak, simplifikasi perzinaan, kekerasan domestik, aborsi paksa, korban kekerasan seksual, jilbab dan pemaknaan multi-pihak, hingga persoalan poligami dan maskulinitas.

“Upaya negosiasi hak perempuan bisa dilakukan di antaranya melalui Konstitusi sebagai kontrak berbangsa, menggunakan term ‘Araby’, yakni keberterimaan yang mubadalah, membangun metodologi baru, bisa juga melalui upaya reclaiming space ulama perempuan,” jelas dara pegiat HAM perempuan ini.

Sementara itu, Pendiri dan Pengelola LetSS Talk (Let’s Talk about Sex and Sexualities), Farid Muttaqin mengatakan, forum ini penting bukan hanya sebagai upaya produksi, reproduksi dan sirkulasi pengetahuan tentang perkembangan isu gender, feminisme atau hak asasi perempuan, tetapi juga menjadi semacam alumni yang bertebaran dimana-mana masih terkoneksi dengan baik, dan dihadirkan di satu forum.

“Ini baik sekali karena akan memunculkan semacam gerakan bersama yang lebih kolektif di antara alumni untuk bersama-sama mengembangkan pengetahuan dan pemahaman terkait banyak hal, dalam hal ini tentang isu gender,” katanya.

Masih kata Farid, selanjutnya Ia menjelaskan bagaimana memproduksi konstruksi pemikiran, norma dan praktik tentang hak perempuan dalam masyarakat Islam, termasuk secara khusus dalam konteks Indonesia.

“Penting juga dipikirkan sejauh mana metodologi pemikiran berimplikasi pada konsepsi, norma dan praktik terkait hak perempuan dalam masyarakat Islam, dan juga bagaimana keragaman metodologi penting dalam transformasi konsepsi, norma, dan praktik tentang persoalan yang sama. Ini harus kita dudukan lagi perkaranya agar kita bisa menemukan solusi yang pas terhadap persoalan yang sedang terjadi,” jelasnya. (man/fu)