Prof. Dr. Media Zainul Bahri, MA

(Guru Besar Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)

Kaget sekali—sekaligus sedih teramat dalam–pagi tadi mendengar salah satu teman terdekat kita, Pak Fariz Pari meninggal dunia, Inna lillahi wa Inna Ilayhi Rajiun. Setelah almarhum Nanang Tahqiq, kini Fariz Pari harus berpulang ke pangkuan Allah. Selama bertahuan-tahun Pak Fariz nongkrong di HIPIUS Fakultas Ushuluddin untuk ngopi, merokok dan diskusi Filsafat. Ciri khasnya kancing baju di atas selalu dilepas. Ke mana-mana pakai topi santai. Dulu sempat pakai sepatu kalau mengajar, tapi mungkin sudah 7 tahun terakhir cuma pakai Daltu, sendal-sepatu. Jangan tanya baju dimasukin ke dalam celana dengan rapi, pakai jas, atau pakai Batik. Jauh dari style dia.

Rumahnya di Bogor jadi tempat ngumpul dosen-dosen UIN Jakarta (bahkan nginap gratis berhari-hari plus dikasih makan) yang ingin menyelesaikan Disertasinya. Pak Fariz dengan senang hati membantu, memberi masukkan dan mengarahkan kaum Disertasiwan dan Disertasiwati dari aspek Metodologis. Maklum karena dia dosen Filsafat Barat yang fasih bicara Foucalt,  Sartre, Derrida, Roland Barthes, Sausurre, Paul Ricoeur dan lain-lain. Saya sendiri dulu nginap seminggu di rumahnya untuk mendiskusikan metodologi Disertasi saya dan mencari temuan-temuan studi yang syukur-syukur diabstraksikan menjadi Tesis baru. Begitulah Fariz Pari, kalau kita tak datang ke rumahnya, dia akan mendatangi rumah kita satu per satu untuk menanyakan progres riset-riset kita atau sekedar ngopi dan merokok Dji Sam Soe kesukaannya. Saya yang dibantu Disertasi dan riset-riset lain sudah jadi Profesor. Teman-teman  lain yang dibantunya sudah jadi ini jadi itu. Tapi Fariz Pari tetap saja masih Lektor 3 C atau mungkin sudah 3 D. Dia tak peduli dengan naik pangkat, padahal sudah lebih dari 25 tahun jadi Dosen Filsafat di Ushuluddin. Jangankan ngurus Naik Pangkat, Absen online tiap hari sejak WFH juga dia ogah alias tak mau absen.

Fariz Pari menyelesaikan S-1 Sastra Arab di UI, lalu S-2 Filsafat UI, dan S-3 Kajian Islam di Pascasarajana UIN Jakarta. Ia menulis Disertasi tentang Hermeneutik Paul Ricoeur, Judulnya “Hermeneutik Paul Ricoeur untuk Penelitian Keagamaan: Kajian Metodologi dan Terapan Terhadap Kebudayaan Shalat Makam Sunan Rohmat Garut” yang ia selesaikan tahun 2005. Apakah Filsafat Ilmu dan Filsafat Barat menjadi akhir dari pencarian dan karier akademiknya? Ternyata Tidak Sama Sekali! Mungkin sudah 7 tahun belakangan dia mendalami Sufisme dan Ilmu Hikmah. Dia mendatangi makam-makam keramat dan guru-guru spiritual. Dia pernah cerita kepada saya bahwa ketika menemui Gus Dur, Fariz Pari minta ditunjuki guru spiritual siapa yang mesti ia datangi. Gus Dur menyebut satu nama di Magelang. Meluncurlah Fariz Pari ke sana menemui sang guru. Belakangan juga saya baru tahu banyak orang atau mahasiswa yang sakit non-medis datang kepadanya, lalu Fariz Pari memberinya doa-doa dan wirid tertentu.

Saya pernah bilang kepadanya bahwa saya ingin sekali dia menulis Buku tebal-tebal tentang Filsafat Barat, saya ingin dia betul-betul menjadi ahli Filsafat Barat Bersama-sama dengan Pak Agus Darmaji, karena hanya dua dosen ini yang menguasai Filsafat Barat di Fakultas Ushuluddin. Kenapa sekarang kok lari ke Sufisme? Dia jawab, “Semua materi dan gagasan Filsafat Barat sudah mentok, sudah buntu. Mereka hanya bicara yang fisik. Meskipun ada Metafisik, tapi tidak seluas, sehebat dan seindah Sufisme Islam”.

Di HIPIUS, Lembaga kami, “musuh” Fariz Pari adalah almarhum Nanang Tahqiq, lawan diskusi yang tak berujung. Selain mereka berdua sering ngopi dan Dji Sam Soe sambil ha-ha hi-hi tapi mereka berdua sering “berantem” soal studi Islam dan Filsafat. Apa saja yang dibicarakan Fariz Pari soal “Islam” Nanang selalu “sinis” “Kamu gak ngerti Islam, Fariz!”. Sebaliknya, kalau Nanang ngomong Filsafat Barat, Fariz Pari ketawa, “Nang, Ente gak ngerti Filsafat Barat…” Mereka berdua dan kita semua ketawa terpingkal-pingkal. Tapi serius, mereka berdua sering diskusi serius tentang studi Islam dan Filsafat, bisa berjam-jam. Mereka tak ketemu karena titik berangkat dan perspektifnya berbeda. Kita menyimak dan ikut komentar. Masa-masa diskusi itu selalu seru. Nanang merasa sebagai “Pangeran Studi Islam” yang layak pakai mahkota karena alumni Ushuluddin, kemudian S-2 dan S-3 di Mc Gill Kanada dalam Islamic Studies, dan salah satu sekutu dekat dari almarhum Nurcholish Madjid.

Sementara bagi Fariz Pari, penguasaan Nanang dalam Filsafat Umum masih cetek alias dangkal. Kita selalu belajar dari keduanya. Saya menyaksikan meskipun mereka berdua tidak ketemu dalam diskusi dan keilmuan, tapi saya tahu betul mereka berdua saling menyayangi. Fariz Pari selalu perhatian kepada Nanang, terutama saat dua tahun Nanang Tahqiq sakit. Sebaliknya, Nanang selalu menanyakan Fariz Pari dan mengungkapkan kerinduannya jika tak bertemu seminggu. Mereka selalu bercanda dan makan bersama. Sama sekali tidak ada permusuhan personal di antara kita dan keduanya. Bagi kami, Nanag Tahqiq menguasai Filsafat Umum dengan sangat baik sebagaimana Fariz Pari menulis Tesis dan Disertasi tentang Islam dan Studi Islam dengan istimewa. Ketika selesai menyalatkan dan menguburkan almarhum Nanang Tahqiq di Cakung, Fariz Pari mengajak kita makan di Bekasi. Semua kita ditraktirnya. Dalam soal traktir mentraktir, Fariz Pari memang royal.

Ketika saya dirawat di RS UIN karena Covid, Fariz Pari whatsapp saya tiga kali menanyakan kabar. Saya minta doa. Dia bilang sedang ‘uzlah berdoa. Saya langsung paham. Sejak jadi “Sufi” ia harus wirid berjam-jam setelah shalat. Saya senang sekali didoakannya. Saya yakin sembuh. Ketika tanggal 20 Juli saya dengar Ibunda Fariz Pari meninggal dunia, segera saya whatsapp tapi sampai dua hari tak dibalas. Barulah kemudian saya tahu dia dirawat karena sakit. Sekarang 28 Juli, hanya berselang 8 hari, Fariz Pari, putra kesayangan ibunya itu kini menyusul sang ibunda.

Selamat jalan Syekh Fariz Pari, sahabatku, sahabat kita semua. Badan saya merinding menulis ini, dan air mata saya ingin jatuh. Dua puluh (20) tahun kita bersama-sama. Semoga berjumpa dengan Gusti Allah dalam manis senyum-Nya, hangat pelukan-Nya dan luas kasih sayang-Nya. Semoga jiwa Syekh yang tenang dapat berpelukan dengan jiwa yang ridha almarhum Nanang Tahqiq di alam sana, Āmīn yā rabb al-‘ālamin.