‘Dalam kesempatan PBAK Fakultas Ushuluddin, perlu adanya pemahaman di mana ada poin penting bagi eksistensi Anda menjadi manusia baru di Universitas yakni menjadi mahasiswa. Dari sini, apa makna menjadi mahasiswa fakultas Ushuluddin? Tentunya ini adalah satu era/fase dalam kehidupan Anda, bahwa Anda memasuki jenjang manusia yang akan berkiprah dan berkarir dalam kehidupan masyarakat kelak.’
Demikian benang merah yang disampaikan Wakil Dekan Bidang Akademik, Kusmana, Ph.D dalam pembukaan PBAK Fakultas Ushuluddin secara online dengan mengambil nama kegiatan bertajuk “PBAK di Masa Pandemik Covid-19 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Fakultas Ushuluddin” dengan mengangkat tema “Ushuluddin for Science Humanity and Religion”, yang dilaksanakan pada tanggal 11 September 2020 yang diikuti mahasiswa baru tahun akademik 2020/2021.
Kusmana menuturkan bahwa di mana sebagai mahasiswa baru mengalami fase krusial, formative years, tahun-tahun pertumbuhan atau perkembangan dalam membentuk diri. Sehingga nanti ketika begitu keluar dari kawah candra Fakultas Ushuluddin, mahasiswa lebih siap berbaur dalam kehidupan nyata di masyarakat.
Untuk memahami semua itu, yakni dengan memahami masyarakat itu sendiri. Hal ini sering muncul dalam kehidupan masyarakat dengan istilah hukum rimba, bahkan ada istilah tanazu’ al-baqa’, di mana hal itu seragam survival of the fittest teori evolusi Charles R. Darwin. Di masyarakat itu yang akan bertahan mereka yang paling kuat. Artinya apa? Dari sesuatu yang paling remeh dan sulit itu ada dalam masyarakat. Dalam istilah populer dari sajadah hingga haram jadah itu ada dalam masyarakat. Namun masyarakat juga memerlukan satu situasi ideal yang menjadi harapan setiap anggota masyarakat.
Jadi sesungguhnya masyarakat itu membutuhkan anggota masyarakat yang dapat melangsungkan kehidupan sosial, yang berperadaban tinggi, lestari, dan memberikan kenyamanan bagi anggota masyarakatnya. Ini adalah cita-cita bersama. Ketika di dalam masyarakat tentu menemukan banyak hal untuk bisa sampai pada itu. Oleh karena itu, Ushuluddin dan fakultas-fakultas lain di UIN Jakarta sama-sama ingin menghantarkan mahasiswanya menjadi anggota yang dicita-citakan masyarakat ideal tersebut.
Lebih jauh itu, Kusmana berharap kepada mahasiswa baru selama di Ushuluddin dapat menjelma atau mentransformasi diri menjadi insan yang kreatif, inovatif dan pembawa kedamaian. Hal itu adalah cita-cita dasar dari pembangunan dalam masyarakat yang beradab. Di mana masyarakat saat ini di tengah banyak isu radikalisme, fundamentalisme, ideologisasi agama, dan lain sebagainya. Untuk itu masyarakat sesungguhnya membutuhkan pesan agama yang solutif dan menentramkan.
Kualitas sarjana seperti ini tidak mudah, tapi sangat diharapkan, alih-alih lulusan perguruan tinggi menjadi pengayom dan pembinanisasi masyarakat. Justru banyak aktor-aktor kriminalitas di masyarakat itu justru dari lulusan sarjana, yang diistilahkan dengan kejahatan kerah putih. Artinya sarjana-sarjana yang melakukan tindakan-tindakan tidak terpuji dengan mengotori konsepsi ideal masyarakat.
Dengan demikian, adanya sejumlah program studi yang dimiliki Fakultas Ushuluddin, yakni Studi Agama-Agama (SAA), Aqidah dan Filsafat Islam (AFI), Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir (IAT), Ilmu Hadis (IH) dan Ilmu Tasawuf (IT). Prodi-prodi inilah yang ingin mencetak mahasiswa menjadi penyampai pesan agama yang memberikan solusi dan membawa kedamaian.
Pertama, Studi Agama-Agama (SAA) mencoba memberikan pesan keagamaan, dari berbagai perspektif agama-agama, sehingga lulusan Ushuluddin bisa tetap berkepala dingin dan berinteraksi dengan masyarakat yang berbeda agama. Kedua, Aqidah dan Filsafat Islam (AFI) mencoba bisa berpikir tuntas jami’ wa mani’ dengan segala masalah yang ada. Ketiga, Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir (IAT), diharapkan bisa sebagai penyampai al-Qur’an yang santuy dan menyejukkan jiwa. Keempat, Ilmu Hadis (IH). Hadis di dalam masyarakat banyak disalahgunakan sedemikian rupa, sehingga bisa dilegitimasi ucapan-ucapan yang tidak santuy, tindakan-tindakan kekerasan yang tidak perlu. Bahkan melalui hadis ini pula, banyak masyarakat menggunakannya untuk menghilangkan, menistakan dan merekonstruksi kelompok lain. Kelima, Ilmu Tasawuf (IT), diharapkan Fakultas Ushuluddin bisa memberikan jawaban atas dahaga spiritualitas masyarakat modern. Dahaga spiritualitas ini perlu dijawab dengan pandangan-pandangan sufisme Islam.
Dengan sejumlah program studi itu pula, cita-cita Fakultas Ushuluddin ingin mencetak seorang pembaharu, tapi pembaharu dalam pengertian positif. Namun di sisi lain, term ini juga sangat kontrol krusial di masyarakat, bahkan sebagian melihat itu sangat nyinyir dan federatif. Tapi sebenarnya, pembaharu itu adalah energi yang diperlukan transformasi peradaban umat Islam yang lebih baik dan lebih tinggi.
Oleh karena itu, diharapkan sarjana pembaharu itu mampu menjelaskan pesan agama secara hakiki dan teguh, mampu memahami realitas sosial secara jernih, mampu mengonstruksi narasi Islam yang inklusif dan moderat. Dan untuk bisa seperti apa yang digambarkan oleh Kusmana itu, maka para mahasiswa harus melalui proses yang sangat panjang dan melelahkan, tapi sekaligus menyenangkan.
Agar apa yang dicapai itu terwujud, Kusmana memberi gambaran dengan kunci 2M1D1P, yakni membaca-menulis, diskusi dan publikasi. Ini adalah proses selama kuliah di Ushuluddin. Untuk keperluan empat hal itu, Ushuluddin menyediakan kegiatan-kegiatan lain untuk memupuk/menggembleng mahasiswa selain diskusi di kelas yakni melalui acara seminar, studium generale, konferensi dan lain-lain, sehingga dengan semua itu diharapkan mahasiswa menjelma menjadi transformer-transformer pembaharu.
Pada bahasan sebelumnya, Rafi’ Syuja’ Zhafran selaku Ketua Panitia PBAK Fakultas Ushuluddin 2020, yang juga mahasiswa Aqidah dan Filsafat pada sambutannya menyampaikan bahwa, barangkali ada kesan bahwasanya Ushuluddin adalah fakultas yang mendidik para mahasiswanya menjadi liberal dan radikal. Hal ini menimbulkan pertanyaan dari salah satu mahasiswa baru yang kemudian dijawab oleh Kusmana.
Menurutnya, jika memang ada anggapan bahwa UIN Jakarta itu liberal? Maka hal yang perlu diketahui bahwa liberal itu dikaitkan dengan paham liberalisme. Ketika orang mengatakan fakultas Ushuluddin itu liberal, maka hal ini dapat ditepis bahwasanya ada sejumlah dosen di Ushuluddin menggunakan inspirasi dan rujukan dari tradisi pemikiran Barat untuk memahami kajian-kajian yang ada di dalam fakultas Ushuluddin itu sendiri. Sampai batas itu dianggap sesuatu yang lumrah.
Tapi biasanya sebutan liberal di kalangan masyarakat itu mengacu kepada asumsi bahwa apa-apa yang datang dari barat dianggap suka mendengungkan kebebasan; kebebasan berpikir, kebebasan berbeda, hedonistik, yang kemudian melahirkan tindakan-tindakan yang destruktif, menyakiti orang lain, hidup sewenang-wenang, dan lain sebagainya. Biasanya asumsi sebagian masyarakat ke arah sana, karena ada proses dialektik. Anggapan ini sebenarnya adalah konstruksi sosial atas realitas, di mana menurut sebagian masyarakat bahwa fakultas Ushuluddin seperti itu. Tentu faktanya jauh dari seperti itu.
Lalu bagaimana cara menjawab atau menyikapi pandangan orang-orang tentang UIN Jakarta khususnya Ushuluddin yang dianggap liberal? Dengan enteng Kusmana memberikan jawaban; “Selama mereka itu tidak melukai kita dengan fisik, kita balasnya dengan senyum, dengan sikap yang legawa, sabar dan ikhlas. Dari sini justru kita menyampaikan Islam itu sesungguhnya.” (mnts)