Bogor, USHUL NEWS – Sesuai dengan rundown acara Workshop Dosen Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, sesi pertama diawali dengan kegiatan ramah-tamah yang diisi oleh kolaborasi para Guru Besar fakultas Ushuluddin. Dipimpin oleh Wakil Dekan Bidang Akademik, Prof. Kusmana, MA, Ph.D., dikemas dengan nuansa santai, hangat nan harmonis, namun obrolan yang penuh ‘daging’, maka ‘Professor Time’ menjadi menu spesial di workshop yang dihelat di Ballroom Albero Convention Hotels & Resort, Pancawati, Kecamatan Caringin, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Selasa (21/6/2022)

Sesi yang dimulai tepat pukul 16.00 WIB ini terasa sangat spesial karena ini adalah momen langka, di mana para Guru Besar Fakultas Ushuluddin, seperti Prof. Kusmana, MA, Ph.D., Prof. Dr. M. Ridwan Lubis, MA, Prof. Dr. Amin Nurdin, MA, Prof. Dr. Masri Mansoer, M.Ag., dan Prof. Dr. Ikhsan Tanggok, M.Si., duduk berjajar di panggung yang sama. Disusul juga oleh Prof. Dr. Sri Mulyati, MA.

Pada sesi ini, para dosen muda bisa mengambil pelajaran dari cerita-cerita yang disampaikan para Guru Besar. Banyak pengalaman-pengalaman yang telah dilalui mereka hingga mencapai tahap akademik tertinggi seperti ini yang bisa menjadi inspirasi semangat bagi para dosen.

Prof. Kusmana mengawali cerita. Ia mengatakan, kehidupan seorang muslim harus yakin dan percaya bahwa rezeki itu tiada disangka-sangka.

“Oleh karena itu, meskipun tuntutan profesional kita cukup tinggi maka jangan pantang semangat untuk terus menggapai cita-cita,” katanya membuka diskusi.

Menurutnya, rasionalitas modern itu tidak mudah. “Oleh karena itu, kita perlu memikirkan secara matang dengan cara kita perlu mengemas sedemikian rupa akan nilai-nilai local wisdom yang ada, misalnya; mengolah bekicot dengan nilai jual tinggi yang bisa go internasional,” jelasnya.

Kemasan-kemasan baru, lanjut Kusmana, diperlukan di era 5.0 ini untuk bekal bagaimana bisa menemukan batas-batas kemampuan dalam rangka memperbaiki pemahaman, metode, strategi, kurikulum pembelajaran, rumusan dan lain sebagainya.

“Fakultas yang basisnya keagamaan utamanya Fakultas Ushuluddin perlu disentuh dengan new platform, digitalisasi, coding untuk menghadirkan sebuah realitas kebaruan dari ilmu keagamaan,” ujarnya.

Selanjutnya, Prof. Dr. M. Ridwan Lubis, MA mengatakan, dalam mengkaji secara teoritis, Islam ada dua: pertama, Islam Cita-cita, kedua, Islam sejarah.

“Islam cita-cita adalah sebagaimana yang kita harapkan sesuai keinginan. Dua hal yang perlu direnungkan adalah teori dan praktik. Dari ADIA-UIN yang kita lihat hanya akan hidup pada Islam sejarah, kalau berhenti di Islam sejarah maka berhenti untuk tumbuh. Sementara kalau ADIA-UIN lebih melihat kepada Islam Cita-cita maka ia akan tumbuh subur,” jelasnya.

Fakultas Ushuluddin, Ia menambahkan, yang seringkali berbicara tentang kerukunan adalah di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

“Tetapi pembicaraan kita tidak terdengar sampai luar, hanya selesai dalam lingkaran internal sendiri. Oleh karena itu, Studi Agama-Agama perlu digalakkan lagi dengan membentuk Gugus Tugas dalam rangka menyongsong Studi Agama-Agama agar lebih diperhatikan oleh pemangku kepentingan guna menjadi pusat studi yang bahasannya seputar ilmu keagamaan, keIndonesiaan dan keIslaman,” paparnya.

Sementara itu, Prof. Amin Nurdin lebih menyoroti persoalan pentingnya menjalin kerjasama baik dalam maupun luar negeri sebagai upaya menjadikan Fakultas Ushuluddin sebagai fakultas yang unggul. Menurutnya, Fakultas Ushuluddin perlu berimajinasi. Setidaknya ada tiga hal yang perlu dilakukan oleh kita sebagai Fakultas yang menjadi jantung UIN Jakarta.

“Pertama, Enabling, memberdayakan para dosen dan pegawainya untuk unggul dan maju bisa dengan cara bekerjasama baik dalam negeri atau pun luar negeri,” katanya

Kedua, sambung dia, adalah Fasilitalling, memfasilitasi guna memenuhi kebutuhan dosen dan mahasiswa terpenuhi supaya suasana perkuliahan lebih efektif.

“Ketiga, Empowerman, membangun kekuatan lebih lanjut guna menunjang komunitas yang unggul sesuai dengan visi Fakultas Ushuluddin yaitu; unggul,” imbuhnya.

Di tempat yang sama, Prof. Ikhsan Tanggok mengatakan, Fakultas Ushuluddin pernah bekerjasama dengan Ching Kung Corner dengan memberikan beasiswa untuk belajar ke jenjang lebih tinggi dengan jumlah yang cukup fantastis yaitu; seribu orang mendapat beasiswa untuk kuliah.

“Kerjasama dengan Konghucu, kala itu Perbandingan Agama menjadi konsentrasi untuk Strata Dua yang di dalamnya juga menawarkan beasiswa kepada mahasiswa untuk kuliah di FU, kala itu Bahrul Hayat menjadi motor kerjasama dengan FU,” jelasnya.

Pada saat itu, Ikhsan melanjutkan, mahasiswa yang kuliah di FU pada program strata dua Perbandingan Agama sebanyak 25 orang, tetapi berjalannya waktu kerjasama ini tidak dilanjutkan.

“Kerjasama selanjutnya dengan Matakin. FU menjadi mediator mahasiswa Konghucu dengan mengajarkan Studi S2 Agama-Agama Konghuchu di Ushuluddin dengan mempersiapkan calon Guru Agama Matakin karena mereka akan menjadi Guru bagi Agama Konghucu,” katanya lagi.

“Pusdiklat Ciputat pernah menjadi wadah program Ushuluddin guna menciptakan guru-guru dalam bidang Kerukunan Umat Beragama, dulu pernah diajukan oleh saya dan Prof. Ridwan Lubis yang mengawali kerjasama tersebut, sehingga FKUB yang di pusat Jakarta diarahkan untuk ikut pelatihan di Pusdiklat Ciputat. Kerjasama ini perlu dilanjutkan oleh pimpinan sekarang guna melebarkan ruang FU lebih dikenal dunia,” imbuhnya.

Terakhir, Prof. Masri Mansoer menjelaskan kegelisahan yang terjadi dan dialami oleh mahasiswa Fakultas Ushuluddin adalah output setelah ia selesai masa studinya.

“Kasus yang sering terjadi adalah tidak terserapnya lulusan Fakultas Ushuluddin dalam dunia kerja. Oleh karena itu bagaimana caranya kita memikirkan supaya lulusan FU punya kemampuan untuk kemudian ia dapat bersinergi di berbagai sektor,” ungkapnya.

“Pertama yang perlu kita lakukan adalah membangun keilmuan dimulai dari Guru Besar dan dosen-dosen yang lain supaya ilmu terserap kepada lulusan FU. Langkah kedua adalah bekerjasama dengan Kemenag dalam rangka menggaungkan atau menyinergikan Pusat Moderasi Beragama dengan membangun lembaga Pusat Studi Kerukunan Umat Beragama di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,” jelasnya.

“Langkah ketiga, hendaknya menciptakan kekhasan keilmuan Ushuluddin dengan melihat mata kuliah yang ditawarkan supaya menjadi ciri khas kemudian diciptakan misalnya; Islam dan Modernitas. Dalam arti yang dapat menjadi sumber otoritas adalah Fakultas Ushuluddin ketika berbicara tentang Islam dan Modernitas,” sambungnya. (man)