Gedung FU, BERITA UIN Online– Perubahan iklim merupakan bentuk krisis lingkungan paling serius yang dihadapi dunia saat ini. Krisis ini mengancam keseimbangan ekologi dan keberlangsungan ekosistem. Ancaman ini pada gilirannya tidak hanya berdampak pada lingkungan yang dapat kita amati secara langsung. Namun juga akan mengancam pada sektor lain, seperti ekonomi, sosial dan juga kesehatan.
Demikian disampaikan Wakil Rektor Bidang Akademik Prof. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.Ag., S.H.,M.H., MA. ketika menjadi pembicara utama pada Seminar Internasional yang digelar Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah bekerjasama dengan Universiti Sultan Azlan Shah (USAS) Malaysia, dan Dewan Mahasiswa (DEMA) Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dihelat di Ruang Teater H.A.R. Partosentono, Gedung FU Lantai 4. Selasa (13/06/2023).
“Seminar kali ini penting dan strategis karena menyangkut permasalahan global, yakni masa depan bumi dan bagaimana pengelolaannya sehingga terhindar dari kerusakan yang membahayakan dari keberlangsungan umat manusia dan ekosistem lainnya,” katanya
Tholabi mengatakan, perlu perhatian yang sangat serius dari berbagai pihak termasuk dalam konteks ini adalah bagaimana perspektif doktrin Islam agar juga turut memberikan solusi atas kondisi bumi saat ini. Berdasarkan data dari Indeks Kualitas Udara (IQAir), dan polusi udara di negara-negara berpenduduk mayoritas muslim terlihat menempati ringking tertinggi sebagai negara yang memiliki kualitas udara terburuk di dunia.
“Dan Indonesia, konon kabarnya menurut survei ini menempati ringking ke-26. Dan lima besar negara-negara buruk udaranya itu adalah Irak, Pakistan, Bahrain, dan Bangladesh. Dan ternyata, Kota Tangerang Selatan merupakan kota peringkat pertama sebagai polusi tertinggi di Indonesia,” terangnya.
Seminar yang bertajuk “Our Earth, Our Future: Masa Depan dan Takdir Umat Manusia di Tengah Bumi yang Sakit Perspektif Islam,” sebagai langkah kesadaran kepada seluruh sivitas akademika UIN Jakarta khususnya, dan para peminat studi Islam, Studi Agama, para aktivis, para praktisi, para pengambil kebijakan, para pemimpin perusahaan dan lain-lain, bahwa isu konservasi alam dan lingkungan ini sudah sangat krusial dan mendesak demi meminamilisir dampak-dampak destruktif yang dimunculkan akibat kerusakan alam.
Seminar internasional ini melibatkan akademisi dari Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Dr. Suhadi Cholil, Pengajar Kajian Gender Dr. Phil. Dewi Candraningrum, Ketua Jabatan Ushuluddin, Fakulti Pengajian Islam Universiti Sultan Azlan Shah (USAS) Malaysia Dr. Nor Fadilah Abdul Rahman, dan Guru Besar Fakultas Ushuluddin UIN Jakarta Prof. Dr. Bambang Irawan, M.Ag.
Lebih lanjut, Tholabi menjelaskan masalah lingkungan dari sudut pandang fikih. “Jika kita telusuri dalam sejumlah literatur hukum Islam klasik (turats), memang kita sulit menemukan secara eksplisit pembahasan para ulama mengenai masalah lingkungan yang sekompleks permasalahannya yang saat ini ada di dunia. Karena pada masa itu, masalah krisis lingkungan belum banyak ditemukan –untuk menyebut tidak ada–. Masalah krisis lingkungan baru ditemukan seiring dengan momentum revolusi industri. Akan tetapi, konsepsi Islam sendiri tentang konservasi lingkungan sejatinya telah ditemukan dari berbagai kitab, seperti fikih, ushul fikih, akidah, bahkan tasawuf,” katanya.
Misalnya, Ia melanjutkan, kita sering menemukan dalam kitab-kitab fikih, utamanya dalam bab thaharah; ada larangan mengotori air, dan ada juga larangan tidak boleh berlaku mubazir dalam menggunakan air, termasuk dalam berwudhu dsb.
Lebih mendalam lagi, Tholabi menjelaskan di awal bahwa sangat sulit menemukan literatur hukum fikih yang membicarakan permasalahan lingkungan, karena tradisi para ulama terdahulu tidak memberikan pandangan secara khusus. Namun ada beberapa istilah dalam maqashid syari’ah yang dapat dikategorikan sebagai suatu cara melestarikan lingkungan.
“Boleh jadi, di era ulama terdahulu, mereka tidak membayangkan bahwa suatu saat manusia yang kecil ini dalam konteks dunia ini mampu melakukan kerusakan yang sedemikian rupa terhadap bumi. Sehingga kemudian, dalam tradisi keilmuan tradisi ulama terdahulu tidak dimunculkan pandangan-pandangan yang memperkirakan. Ini dalam konteks fikih iftiradhi, atas krisis lingkungan yang bakal terjadi seperti yang ada pada saat ini. Itulah sebabnya, mengapa para ulama tidak memasukkan misalnya menjaga lingkungan menjadi salah satu maqashid syari’ah. Para ulama klasik membatasi maqashid syari’ah terbatas pada lima maslahat, yaitu hifdz al-din, hifdz al-nafs, hifdz al-‘aql, hifdz al-nashl dan hifdz al-mal. Setiap hari yang tidak mengindahkan lima maslahat ini dianggap mafsadat yang harus dihilangkan,” terangnya.
Namun seiring dengan telah terjadinya krisis lingkungan secara nyata –saat ini, utamanya–. Kemudian sejumlah ulama meniscayakan adanya hifdz al-bi’ah atau menjaga lingkungan menjadi salah satu maqashid tersendiri. Namun demikian, Yusuf al-Qardhawi menganggap bahwa konservasi lingkungan sejatinya telah enklude dalam masing-masing dari lima maslahat dharuriyah yang telah dirumuskan para ulama terdahulu.
Krisis lingkungan tidak hanya disebabkan oleh dampak dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Namun juga melibatkan mikro kosmos di dalam diri kita. Teknologi sebagai sesuatu yang netral, dampak baik buruknya tergantung bagaimana manusia menggunakannya. Keserakahan manusia merupakan faktor penggunaan teknologi secara tidak benar, yang menghadirkan sikap dan aktivitas yang tidak baik. Hal ini dipengaruhi cara pandang manusia kepada alam. Menurut Seyyed Hossein Nasr dalam bukunya Man and Nature: The Spritual Crisis of Modern Man, bahwa masyarakat tradisional melihat alam itu sebagai “istri”, maka kalau istri itu harus disayang-sayang, dijaga, dinafkahi dsb. Sedangkan masyarakat modern alam ini sebagai “pelacur” yang kemudian dieksploitasi.
Jadi perbedaan cara pandang ini berdampak signifikan pada perbedaan perlakukan terhadap alam. Dari sisi ini, melibatkan ajaran agama merupakan sesuatu yang sangat penting, dengan ajaran agama, cara pandang manusia diharapkan untuk tidak terpusat kepada kepentingan manusia atau homosentris. Tapi ada tanggung jawab kepada Tuhan yang telah memberikan amanah kepada manusia sebagai khalifah atau pengelola bumi ini.
Berangkat dari perspektif agama terkait peran manusia dan alam, sikap dan tindakan konservasi lingkungan diharapkan bisa dilakukan. Tidak hanya melalui norma-norma aktivitas fisik, konservasi alam juga dilakukan melalui norma-norma kearifan yang bersifat non fisik, seperti kesadaran doktrin dan spiritual, yang dalam bahasa ulama disebut sebagai al-fiqh al-akbar. Sebagaimana yang dibenarkan oleh Imam Abu Hanifah yang tidak hanya memaknai fikih sebagai fikih praktis, tapi juga mengenai doktrin akidah dan akhlak. Di samping itu, dari aspek suluk atau ilmu tasawuf, diajarkan pula bahwa suluk itu berlaku jujur apa adanya kepada Tuhan, berakhlak kepada makhluk. Berakhlak kepada makhluk maksudnya adalah berlaku baik (ihsan) kepada unsur alam, tidak hanya berlaku kepada sesama manusia saja, tetapi juga berlaku kepada lingkungan menyangkut hewan, tumbuhan, air, udara dsb.
Inilah di antara ajaran agama Islam yang dapat digali lebih dalam, sehingga bisa membuahkan pandangan-pandangan cemerlang dalam upaya konservasi lingkungan, dan bisa dijadikan sebagai bahan pertimbangan untuk penguasa di dalam mengambil keputusan untuk mengobati dan merawat bumi ini.
“Mari kita rawat dan selamatkan bumi kita, because our earth, our future.” (M. Najib Tsauri)