Prof. Dr. Media Zainul Bahri, MA
(Guru Besar Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)
Saya pernah mendiskusikan tiga hal ini dengan mahasiswa: Pertama, sekitar tahun 2013-an terjadi perdebatan yang cukup menarik di Jerman soal penyembelihan hewan kurban. Seperti diketahui dalam hukum Eropa tidak boleh menyakiti binatang. Menyakiti hewan termasuk tindakan kriminal. Dalam tradisi Jerman dan negara-negara lain di Eropa Barat semua hewan sembelihan yang biasa dikonsumsi orang harus dibuat pingsan dahulu atau dibius sebelum disembelih agar tidak terlalu menyakiti binatang. Saat itu, kalau tidak salah Muslim di Jerman kembali menginginkan penyembelihan hewan kurban langsung “digorok” di lehernya sesuai syariat. Tapi pemerintah Jerman juga ngotot bahwa mereka harus menaati aturan Jerman untuk membuat pingsan atau membius hewan-hewan kurban.
Perdebatan cukup sengit. Tokoh-tokoh Islam dan Yahudi protes terhadap aturan Uni Eropa itu dan menyebut aturan itu sebagai “pengekangan kebebasan beragama di seluruh Eropa”. Muslim dan Yahudi berargumen bahwa mereka punya teknik menyembelih selama berabad abad yang langsung “mematikan” binatang tanpa kesakitan. Tetapi aktivis pembela binatang di Eropa tetap mengatakan bahwa ritual kurban yang “menggorok” langsung leher sapi atau kambing sebagai praktik menyiksa binatang. Saya tidak tahu bagaimana akhirnya.
Baru belakangan Jerman, Belanda, dan Spanyol membolehkan penyembelihan langsung untuk “ritual keagamaan” dengan standar yang ketat di rumah jagal. Sementara Belgia, Austria, Yunani, Swedia, dan Denmark tetap mewajibkan pembiusan sebelum disembelih. Saya bilang ke mahasiswa seandainya Imigran Muslim di Eropa itu berasal dari Indonesia, mungkin mereka lebih toleran, lebih bisa mengikuti hukum Eropa karena orang Indonesia umumnya punya falsafah “di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung”. Beda dengan Imigran Muslim dari Timur Tengah yang cenderung “keras”.
Kedua, Yuval Noah Harari dalam Homo Deus, bercerita bahwa di masa kuno Pra-Agrikultural, manusia, binatang, dan pohon hidup bersama dengan seperangkat aturan yang dibuat bersama. Mereka semua menyatu tanpa saling mengeksploitasi. Kata Harari, orang berbicara dengan binatang, pohon, batu, juga dengan peri-peri, setan-setan, dan hantu. Dari jejaring komunikasi tersebut muncul nilai, norma-norma, dan aturan yang mengikat manusia, gajah, monyet, pohon, dan hantu-hantu sekaligus. Orang-orang di masa itu kalau ketemu harimau, ular, atau gajah, dia akan ngomong, “Engkau hidup dihutan. Aku juga hidup di sini. Kau datang kemari, aku juga datang kemari untuk mencari akar-akaran, kayu- kayu dan umbi-umbian. Aku datang kemari tidak untuk menyakitimu”. Mereka dapat berbicara satu sama lain. Bahkan sebagian orang di masa itu meyakini bahwa ular, monyet, atau harimau adalah leluhur mereka.
Kondisi harmonis itu, kata Harari, berubah secara revolusioner ketika terjadi “Revolusi Agrikultural” dan datangnya agama-agama modern. Para petani yang mulai menetap menyadari bahwa mereka bisa mengeksploitasi binatang dan alam. Para petani di era Revolusi Agrikurtural, kata Harari, menganut agama-agama bertuhan. Agama-agama besar/bertuhan atau agama modern pusatnya kepada Tuhan (God) yang mengajarkan bahwa alam semesta ini bukanlah sebuah parlemen makhluk-makhluk, melainkan sebuah teokrasi yang diperintah oleh sekelompok Tuhan-tuhan besar (gods).
Yahudi, Hindu, Kristen, dan Islam adalah agama-agama Tuhan yang lebih fokus kepada manusia dan hubungannya dengan tumbuhan dan binatang-binatang ternak. Jika pada masa Pra-Agrikultural Homo Sapiens hanya salah satu aktor di antara ribuan pemain, maka dalam drama baru agama-agama bertuhan, Sapiens menjadi hero inti yang di sekelilingnya seluruh alam semesta berputar. Alam semesta ditaklukkan untuk kepentingan manusia. Kristen misalnya menegaskan bahwa manusia harus berkuasa atas seluruh makhluk karena Tuhan Sang Pencipta memberikan tugas dengan otoritas itu. Kini, manusia menjadi penguasa alam.
Dalam kosmos agama bertuhan, semua makhluk non-manusia di bungkam. Akibatnya kata Harari, “Anda tidak bisa lagi berbicara dengan pohon dan binatang”. Kini sudah ada Tuhan. Jika Anda ingin pertanian Anda subur, kambing dan sapi memberi susu dan daging lebih banyak, dan hama-wereng menjauh dari pertanian Anda, maka Anda harus meminta (berdoa) kepada Tuhan. Tuhan berjanji menyuburkan, melindungi dan menyelamatkan produksi pertanian, dengan syarat manusia harus menyembah Tuhan dan memberikan sesajen hewan-hewan kurban kepada Tuhan. Inilah yang disebut “kesepakatan Agrikultural”, kata Harari. Kesepakatan ini menguntungkan kedua belah pihak (manusia dan Tuhan), tapi mengorbankan seluruh ekosistem yang dulu dipelihara oleh manusia Pra-Agrikulural. Melalui cerita dalam kitab-kitab suci agama-agama besar/agama bertuhan dikisahkan cerita banjir Nabi Nuh atau kisah Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail yang menunjukkan bahwa manusia punya supremasi, tetapi binatang tidak bernilai. Tuhan dan manusia hanya berbicara tentang kepentingan mereka, bukan kepentingan binatang. Kata Harari, organisme-organisme non-manusia tidak punya nilai intrinsik; mereka hanya ada semata mata untuk kepentingan manusia.
Dengan penjelasan panjang lebar soal ini, Harari ingin mengatakan, berdasarkan penelusuran historis yang ia tekuni, bahwa agama-agama besar bertanggung jawab atas kerusakan ekosistem karena kerakusan Homo Sapiens modern yang dimulai sejak masa Agrikultural. Saya bilang kepada mahasiswa bahwa analisis Harari tentang agama-agama besar itu tidak sepenuhnya benar. Islam misalnya, memang punya ajaran tentang Taskhir: bahwa alam ditundukkan untuk manusia. Tapi merujuk kepada Seyyed Hossein Nasr dan Nurcholish Madjid, umat Islam harus “tawadhu”, harus rendah hati dalam mengelola alam, termasuk binatang. Tidak boleh mengeksploitasi secara sewenang-wenang.
Dalam Quran ada ajaran tentang Ifsad: manusia tidak boleh membuat kerusakan di bumi. Menurut Quran pohon-pohon bisa berzikir dan bertasbih kepada Allah. Artinya mereka memiliki jiwa yang tidak boleh diperlakukan secara gegabah. Lagi pula menurut Nabi Muhammad, “Muslim dilarang memetik bunga yang sedang mekar atau memetik buah yang masih mentah”. Dalam keadaan perang-pun pohon-pohon tidak boleh ditebang atau dirusak. Apalagi sekarang lagi ngetren kajian tentang eco-Islam atau Islam dan konservasi alam. Jadi, kalau ajaran Islam dituduh bertanggung jawab merusak alam, hal itu tidak benar. Sebagai analisis kronologi historis agama-agama dan hubungannya dengan pertanian dan binatang, oke-lah, tapi Harari bukan ‘ahli Studi Islam’.
Ketiga, saya pernah mendengar seorang sarjana yang mengkritik penyembelihan hewan kurban di masa Idul Adha. Menurut sarjana non-Muslim ini, Islam–melalui peristiwa Idul Adha yang menyembelih ribuan kambing dan sapi—menyumbang “pemanasan global” karena hewan-hewan yang disembelih membutuhkan lahan peternakan yang mengharuskan dibukanya ratusan hektar hutan dan kebun. Saya katakan kepada mahasiswa saya tidak setuju dengan pendapat itu. Penyembelihan hewan kurban hanya dilakukan setahun sekali. Yang menyembelih ribuan kambing dan sapi adalah industri makanan kayak food court steak-steak itu. Mereka harus menyembelih beberapa hari sekali atau seminggu sekali puluhan ribu hewan untuk dijadikan makanan. Merekalah yang membutuhkan puluhan ribu hektar lahan peternakan. kalau mau dicari biang keladi pembukaan hutan-hutan ya korporasi-korporasi itu yang bertanggung jawab bukan ritual keagamaan yang setahun sekali.
Lagi pula dengan watak Homo Sapiens yang cerdas dan dengan evolusi yang cukup lama, ada agama-agama atau tidak ada manusia yang super cerdas dan serakah itu pasti akan mengeksploitasi alam. Saya setuju dengan Graham Fuller yang menulis A World Without Islam: ada Islam atau tidak ada, manusia tetap akan saling membunuh, manusia tetap akan mengobarkan perang dengan banyak alasan dan sebab non-religius.
Kira-kira saya mendiskusikan tiga hal itu dengan jelas (clear), meskipun tidak persis sama dengan tulisan ini.
Tapi tiba-tiba di suatu siang, saya ketemu dengan Profesor senior, guru saya, ia bilang: “Tadi saya mengajar di program Magister. Ada anak bilang bahwa penyembelihan massal di masa Idul Adha adalah bentuk “penyiksaan binatang”. Saya tanya siapa yang bilang begitu? Ia jawab: Pak Media! Apa betul Pak Media berpendapat begitu?” Nah lho… Akhirnya saya cerita kuliah tiga hal di atas. Tetapi mengapa kita: pengajar atau dosen sering disalahpahami? Mungkin (a) karena penjelasan kita tidak utuh; (b) karena pemahaman mahasiswa sepotong-sepotong; (c) karena kita memang berpendapat seperti yang dituduhkan mahasiswa itu; (d) boleh jadi ada orang yang sengaja “menembak” (memfitnah) kita. Sang Profesor senior Filsafat itu cerita bahwa ia sudah biasa disalahpahami atau “ditembak” oleh mahasiswa dan masyarakat umum. Misalnya, suatu hari di kelas ada mahasiswa minta izin untuk merekam kuliah Filsafat sang Profesor dengan alasan biar mudah didengar lagi nanti di rumah. Tiba-tiba di Youtube muncul kuliah itu dengan judul “Kuliah-kuliah sesat Prof. A…”. Saya bilang tuntut saja mahasiswa itu. Tapi syukurlah link Youtube itu sudah dihapus.
Sumber: FB Mediaa Zainul Bahri