Gedung FU, USHUL NEWS – International Conference on Qur’an and Hadith Studies (ICONQUHAS) ke IV hari ke-2, fokus membicarakan tentang Qur’an Studies. Selain pakar dari Indonesia, ada juga dari USA, India dan Malaysia yang memberikan perspektif yang berbeda. Rabu (10/8/2022)

Hari ke-2 ini, ICONQUHAS IV menghadirkan 5 pakar Qur’an Studies, di antaranya Prof. Dr. Hamidullah Marazi (Islamic University of Science and Technology, India), Assoc. Prof. Mun’in Sirry, Ph.D. (University of Notre Dame, USA), Dr. Mohd Zulfahmi bin Mohamad (University Sultan Azlan Shah, Malaysia), Dr. Lilik Ummi Kaltsum, M.A. (UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta), Sa’adatul Jannah, MA (UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta), dan selaku Moderator Dr. Novizal Wendry, MA (UIN Imam Bonjol, Padang).

Mengawali pembahasan, pemateri asal Islamic University of Science and Technology, India, Hamidullah Marazi menjelaskan tentang ilmu pengetahuan dan rasionalisasi Qur’an. Ilmu merupakan salah satu kandungan penting dalam al-Qur’an. Dalam teori pengetahuan al-Qur’an, hubungan antara konsep epistemologi umum dan epistemologi al-Qur’an bertumpu pada pertanyaan tentang hubungan antara rasionalitas dan wahyu.

“Ini adalah sumber pengetahuan yang dianggap benar. Menurut Dawidah, tujuan filsafat, sebagaimana dipahami oleh Gnostik Kuno, yaitu untuk memurnikan akal dan mencapai kebijaksanaan. Ternyata sama dengan al-Qur’an atas akal (aql) dari Ghafala (keadaan bawah sadar) dan Hawa (keinginan). Dengan demikian, epistemologi al-Qur’an tidak bertentangan dengan pandangan filosofis terhadap rasio (aql), tetapi memurnikannya dalam Cahaya Petunjuk Ilahi (Huda), tidak seperti pendekatan modern terhadap rasionalitas yang menganggap dirinya terbebas dari wahyu,” jelas Hamidullah.

Pada bahasan kedua, Mun’in Sirry, pakar dari University of Notre Dame, USA, memaparkan soal perkembangan baru dalam kajian al-Qur’an. Menurutnya, Qur’an Studies sebagai bidang penelitian yang dinamis.

Seperti apa yang dikatakan Davin Steward; ‘kajian bidang Qur’an Studies kembali booming saat ini, setelah sebelumnya menjadi kajian yang relatif sepi dari studi Arab dan Islam selama dekade pertengahan abad ke-20’. Kemudian, Fred Donner bilang; ‘Qur’an Studies, sebagai bidang penelitian akademis, tampaknya hari ini berada dalam keadaan kacau balau’. Sementara Gabriel Reynolds; ‘memang, jika hal-hal seperti itu dievaluasi hanya dengan tingkat aktivitas, maka akan tampak bahwa zaman keemasan Qur’an Studies telah tiba,’” jelasnya.

Pemateri ketiga, Lilik Ummi Kaltsum, pakar dari UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta menjelaskan terkait Tahfidz Al Qur’an Sebagai Wujud Penjagaan Teks Al-Qur’an; Normatif Idealis ataukah Trending Popularity.

“Mengutip dari apa yang dikatakan J. Gordon Melton, bahwa Kebangkitan spiritual masyarakat modern lebih menekankan pada gaya hidup baru bukan sekedar gelombang kebutuhan spiritual. Ini bagian dari dampak canggihnya teknologi, dan dari sinilah semakin menjamur bentuk kegiatan spiritual. Seperti apa yang terjadi pada fenomena Tahfidz. Bila ditanya, masih perlukah tahfidz al-Qur’an diwajibkan untuk semua siswa dan mahasiswa? Jawabannya: perlu bagi yang memenuhi syarat dan perlu juga bila dengan sistem yang dapat meningkatkan kualitas anak didik dan lembaga,” paparnya.

Sementara itu, pemateri keempat dari University Sultan Azlan Shah, Malaysia, Mohd Zulfahmi bin Mohamad memaparkan bagaimana pola pemikiran gerakan Orientalis Abad ke-18. Ia mengatakan, Sebelum abad ke-18 Masehi, gerakan orientalis lebih tertumpu kepada usaha-usaha penerjemahan dan kajian filologi teks al-Qur’an dan Hadith.

“Lebih jauh lagi, pada zaman tersebut Eropa bahkan masih samar-samar memandang bagaimana identitas umat Islam. Namun, metodologi pengkajian orientalis mulai menampakkan perubahan di awal abad ke-16. Justru, masa keemasan orientalis ini bermula pada sekitar abad ke-16 hingga 18 M. Tahap ini dianggap penting bagi kajian orientalis karena istilah orientalis telah diperkenalkan pertama kali dalam kamus Inggris pada tahun 1779 M dan kamus Perancis pada tahun 1799 M,” ujar dia.

Pada kesempatan terakhir, Sa’adatul Jannah, pakar dari UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta lebih menyoroti soal problem apa yang harus dilakukan para akademisi dalam menanggapi beberapa kasus penggunaan dan penyalahgunaan dalam upaya memahami al-Qur’an. Menurutnya, posisi subjek ketika menggali makna al-Qur’an akan mempengaruhi interpretasi.

“Banyak kasus yang beredar, seperti kasus Ahok, terorisme, gerakan 212, pelecehan pada pelajar dan sebagainya. Fakta dalam Qur’anic Studies, kebanyakan cenderung mengelaborasi Qur’an itu sendiri berdasarkan 9 dari 10 kajian tafsir. Tidak banyak juga kajian Qur’an yang memberikan kritik secara eksplisit terhadap apa dan bagaimana nilai dalam al-Qur’an,” jelasnya.

Sama seperti ICONQUHAS IV hari pertama, setelah konferensi inti digelar, sesi selanjutnya adalah sesi parallel. Dari total 41 presenter yang akan mempresentasikan artikelnya di depan reviewer, yang akan dibagi ke dalam 10 room parallel yang berbeda. (man/fu)