“Yang menentukan kesuksesan bukanlah disiplin ilmunya bukan juga jurusan yang kita pilih tetapi diri kita sendiri.” Nampaknya kata-kata dari salah satu dosen perbandingan agama lulusan universitas Harvard Amerika Serikat ini ingin memberikan pemahaman khususnya kepada mahasiswa perbandingan agama bahwa mereka tak perlu berkecil hati atau pesimis dengan masa depannya setelah lulus dari jurusan tersebut. ia pun merupakan sarjana (S1) jebolan perbandingan agama yang terbilang sukses. Mahasiswa ushuluddin tentu tak asing dengannya yang akrab disapa Pak Dadi.
Beliau memulai kesuksesannya dengan menjadi mahasiswa perbandingan agama pada tahun 1988. Ketika itu ia mengenyam pendidikan bersama rekannya Ismatu Ropi yang kini juga menjadi dosen perbandingan agama dan beberapa teman lainnya yang tidak hanya menjadi dosen di UIN tetapi juga di universitas lain.
Rupanya jurusan perbandingan agama sangat menarik perhatiannya hingga jurusan tersebut menjadi pilihan pertama baginya. “Sejak saya dipesantren dulu di Jawa saya tertarik dengan mempelajari budaya, agama, kepercayaan dan tradisi orang lain, dan saya pikir itu semakin penting bagi masyarakat Indonesia,” ujar beliau yang mulai menceritakan kisah hidunya. Ia merupakan santri dari salah satu pondok pesantren yang sangat multicultural, yang mana di pesantren tersebut ada yang berasal dari Madura, Jakarta, Cirebon, Makasar, Banyuwangi dan ia sendiri dari Jawa Barat, yang tentunya memiliki budaya yang berbeda-beda dan menurutnya hal itu sangat mempengaruhi adat istiadat, kebiasaan, budaya hidup dan pola pikir orang sekitarnya.
Dengan semangat ia ingin belajar di jurusan perbandingan agama, “Kalau tidak menjadi jalan karir profesional saya dalam bidang ini, setidaknya saya bisa menjadi orang yang tercerahkanlah kira-kira sebagai orang perbandingan agama.” Tutur beliau. Nampaknya dosen ahli agama-agama lokal ini beranggapan bahwa dengan menjadi mahasiswa perbandingan agama beliau merasa telah lulus seleksi alam sebagai seorang yang mendapat pencerahan. Dulu salah satu ustad dipesantrennya juga kuliah di perbandingan agama dan beliau menulis skripsi tentang doa dalam Islam dan Kristen. Hal itulah yang mempengaruhi cara pandang seorang Dadi Darmadi, sehingga ia memutuskan untuk mengambil kuliah di jurusan perbandingan agama. Ketika itu ia di ajar oleh Prof. Dr. Komarudin Hidayat, Prof. Din Samsudin, dan dosen-dosen lain yang juga memiliki latar belakang perbandingan agama.
Namun, pada tahun kedua dan ketiga kuliah, ia juga pernah mendapatkan godaan, ia memiliki saudara dekat yang cukup sukses berkarir di bidang perbankan dan saudaranya meminta ia untuk memikirkan kembali apakah ia yakin memilih program studi tersebut. Menurut saudaranya, kalau bisa ia lebih baik belajar ilmu perbankan di Fakultas Ekonomi. Kemudian ia sempat mempertimbangkannya, namun jurusan tersebut tak menjadi pilihan hatinya. “Saya pernah dijurusan tersebut, tapi lama kelamaan selama satu semester kira-kira, saya pikir itu bukan jalan saya” ujar beliau, akhirnya ia pun tetap konsisten di perbandingan agama sambil berfikir bagaimana agar ia bisa menjadi mahasiswa yang baik, selain aktif kuliah ia dan teman-temannya juga banyak yang mengisi kegiatan sehari-harinya dengan aktif di organisasi kemahasiswaan, organisasi nasional, dan aktif di berbagai kajian, bahkan ia juga sambil bekerja di Jakarta Internasional School, disitu ia dipaksa harus bisa berbicara Bahasa Inggris.
Setelah lulus sarjana pada tahun 1994, ia merasa pengalaman kerja dan bergaul itu sangat berpengaruh kepadanya sehingga begitu lulus ada program penertiban dosen, kemudian ia disekolahkan selama satu tahun lebih bersama rekannya Ismatu Ropi dan beberapa dosen lain dari UIN, ia di gembleng belajar bahasa Inggris, metode riset dan sebagainya, kemudian akhirnya ia lolos dalam program tersebut. setelah itu ia mendapat rekomendasi dari Alm. Nurcholis Madjid dan Prof. Azumardi Azra untuk melanjutkan kuliahnya di luar negri, hal itu memberi semangat kepadanya, berbagai cara ia berusaha mencari beasiswa ada yang lewat pemerintah, bekerjasama dengan pusat kebudayaan dan ia lolos beasiswa pertama ke Inggris, kemudian lolos juga ke MC Gill namun di tengah jalan ia juga sambil belajar sejarah agama di Department Of Religion jurusan perbandingan agama ia ambil S2.
Tahun 1996 dua tahun setelah lulus dari situ, kemudian ia ikut program pendidikan dosen dan diangkat menjadi CPNS, mengabdi sebentar jadi asisten dosen dan mendapat gelar M.A kemudian ia kembali ke UIN Jakarta dan mengajar selama lima tahun. kemudian tahun 2003-2004 ia mencari beasiswa lagi untuk S3, ia mencari kesana kemari dengan dibantu beberapa orang termasuk guru-guru besar disini salah satunya Prof Azumardi Azra yang waktu itu menjabat sebagai rektor, beliau menyarankannya untuk mencoba kuliah di Universitas Harfard. “Tapi waktu itu di Harfard susah untuk ambil S3 dalam bidang perbandingan agama karena untuk bidang doctor di Harfard itu sangat spesifik karena untuk menjadi P.hd hanya diberikan untuk pendeta yang resmi. Kalau mau program yang lain ada Study Of Religion tapi saya kurang tertarik, saya lebih tertarik belajar ilmu manusia jadi saya ambil antropologi.” Kata seorang dosen yang juga ahli antropologi agama tersebut.
Menurutnya ketika kita dipandang sebelah mata biarkan saja, justru kita bisa mempunyai pola pikir yang tidak dimiliki oleh orang lain. “Kita harus meneguhkan kembali seperti yang kita presentasikan barusan bahwa banyak cara untuk menghargai orang lain, karena orang lainpun sebetulnya ingin menghargai kalau mereka bisa, sementara sekarang ini mereka mau menghargai orang kenapa kita tidak?” ujarnya. “Kita buat apa sih merasa benar sendiri, merasa menang sendiri, keberagamaan kita, rasa keimanan kita, keyakinan kita insya Allah tidak berubah, insya Allah tidak berkurang. Dengan bisa menghargai orang lain malah kita bisa meningkatkan keimanan kita ke tingkat yang lebih tinggi.” Tambahnya.
Perbandingan agama selain dalam karir akademis yang nantinya bisa menjadi peneliti dalam bidang agama, sebagai umat manusia juga sangat memberikan dorongan motivasi yang luar biasa, rasa keadilan kita, sisi kemanusiaan kita, bahwa kita disini tidak hidup sendiri. Berkaca pada pengalaman hidup Dadi Darmadi, motivasi untuk para mahasiswa perbandingan agama khususnya, lakukanlah yang terbaik yang bisa kalian lakukan. Ia berharap mahasiswa perbandingan agama bisa membuat skripsi yang berkualitas, bisa menambah jumlah peminat jurusan perbandingan agama, dan juga mahasiswa bisa mengaplikasikan ilmu-ilmu yang didapadalam kehidupan bermasyarakat. (Reporter: Mei Marlina) (LF/Ab)