Prof. Dr. Media Zainul Bahri, MA
(Guru Besar Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)
Untuk keperluan riset mandiri, saya banyak membuka kembali buku-buku lama termasuk dua buku tentang Gus Dur (GD). Untuk buku “Gus Dur, NU dan Masyarakat Sipil” saya beli pada/tertulis 30 Maret 1996. Tertulis nama saya dalam tulisan Arab ditambah “As-Sundawi”. Tertulis juga catatan tangan saya “Neo NU” karena dalam bayangan saya mahasiswa semester 4 saat itu Gus Dur membuat perubahan kultural dan struktural yang luar biasa di kalangan Nahdhiyyin.
Dalam buku kuning yang sangat kecil “NU dan Gus Dur” tertulis/dibeli pada April 1996, ada nama saya dalam Bahasa Arab dan tertulis “Lelaki Denanyar dengan sejuta kontroversial”. Di buku kuning itu ada tulisan Bang Fachry Ali yang bercerita bahwa ia sebagai mahasiswa Gus Dur di IAIN/Fak. Adab, di suatu momen Gus Dur mengajar di kelas, diminta untuk menjelaskan artikel Reuvane Kahane, Profesor Sosiologi dan Antropologi (1967) Hebrew University, Yerusalem tentang teori Islamisasi di Indonesia.
Kata Bang Fachry, Gus Dur tidak semata tak mau tanda tangan absensi dosen yang disodorkan, tapi juga di tengah penjelasan bang Fachry atas artikel itu, Gus Dur sudah tertidur (mungkin lelap?). Saya bisa bayangkan Bang Fachry yang artikulatif dan ekspresif mengurai artikel itu, tapi Gus Dur asyik tidur ‘heeeee’.
Sebenarnya sepanjang tahun 1990-an hingga 2000-an saya mengkliping semua artikel Gus Dur dari Kompas, Media Indonesia, Tabloid Detik dll, kunjungan-kunjungan kenegaraan, headline-headline berita, juga wawancara-wawancaranya. Saya kumpulkan sampai 3 plastik besar. Karena sering pindah kos dan kontrakan, hilanglah kliping-kliping berharga itu, ‘sayang sekali’.
Pada 2001, begitu Gus Dur jatuh dari kursi presiden, seingat saya ia tidak pulang ke Ciganjur tapi langsung terbang ke AS, John F. Kennedy Hospital untuk pengobatan matanya. Setelah lebih dari seminggu kami mendengar Gus Dur akan pulang ke Ciganjur, segera kami yang muda-muda berangkat ke Ciganjur. Di sepanjang jalan Jagakarsa dan Ciganjur terlihat spanduk-spanduk besar “Selamat Datang Presiden Rakyat”, “Selamat Datang Pejuang Demokrasi” dll.
Sore, saya dan teman-teman sudah nongkrong di Ciganjur (meskipun saya bukan anggota/kader PMII). Ratusan orang berkumpul di rumah/Pesantren Gus Dur itu. Kira-kira jam 9.30 malam, keluarlah Gus Dur dan naik panggung untuk orasi. Dalam bayangan kami, Gus Dur akan orasi politik: ia akan menghujat DPR/MPR dan tokoh-tokoh politik yang menjatuhkannya dari kursi presiden. Ia akan membakar massa supaya ikut marah. Ia akan meneriakkan yel-yel perjuangan melawan kezaliman. Tetapi oh tetapi, setelah salam dan hamdalah Gus Dur malah ngaji.
Dari awal ceramahnya Gus Dur membahas soal “ikhlas” dan banyak mengutip kitab Ihya Ulumuddin al-Ghazali. Saya sebenarnya bengong: apa ini? Kok malah ngaji ikhlas? Ceramah Gus Dur tentang “ikhlas al-Ghazali” di tengah situasi politik yang panas kira-kira ibarat orang-orang Yahudi di Yerusalem yang sudah lama merasa menderita karena tekanan dan beban hidup yang berat di bawah kolonialisme Romawi, mengharapkan datangnya “Mesias” tapi Mesiasnya harus seperti raja Daud atau Sulayman: gagah berani, punya pasukan yang kuat dan siap dengan trompet perang.
Tapi tiba-tiba yang datang adalah Yesus: orangnya kurus, rambutnya gondrong sebahu, bukan trompet perang yang ia serukan, malah mengajak “mengasihi”, mengajarkan “kasih”: “maafkan musuh-musuhmu”, “Kalau ditempeleng pipi kiri kasih pipi kanan”, bagaimana orang-orang Israel saat itu tak kecewa dengan Yesus ‘heeeee’.
Tapi itulah Gus Dur. Ia mengajari simpatisan dan para pengikutnya. Ia yang mengendalikan mereka bukan ia yang harus dikendalikan atau harus memenuhi keinginan para pengikutnya. Ia tak melempar bensin ke tengah kobaran api, tapi malah menyiramkan air. Gus Dur berani tidak populer termasuk di depan pengikutnya sendiri.
Acara selesai jam setengah 12 malam. Semua orang bubar, mungkin sebagian kecewa mendengar ceramah “ikhlas al-Ghazali”. Di tengah kebingungan saya akan tidur di mana, tiba-tiba ketemu Ustadz Abdullah, kakak kelas di Pesantren dulu. Ia mengajak saya menginap di Pesantrennya, al-Mawaddah, sekitar Ciganjur. Cukup jauh dari rumah Gus Dur. Hampir jam 1 malam itu saya dan Ustadz Abdullah jalan kaki. Malam sudah sepi dan hening. Kiri kanan hanya pohon-pohon besar. Kelihatannya malam yang hening itu sudah ikhlas seperti ikhlasnya Gus Dur.