Syahida Inn, USHUL NEWS – Guru Besar Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta bidang Studi Islam, Prof. Dr. Media Zainul Bahri, M.A, menyebut, moderasi beragama dalam konteks sekarang merupakan terminologi yang kontestatif, tergantung siapa yang mengampanyekan. Hal itu ia sampaikan dalam Forum Diskusi Publik Himpunan Mahasiswa Program Studi (HMPS) Studi Agama-Agama dan LSPI bertema “Moderasi Beragama dan Tantangan Ekstremisme di Indonesia,” di Syahida Inn Ciputat Timur Kota Tangerang Selatan. Kamis, (3/11/2022).

“Jadi moderasi itu washatiyah, tengah-tengah. Akan tetapi yang saya perhatikan, istilah moderasi beragama ini istilah yang kontestatif, diperebutkan,” katanya.

Profesor Media mengatakan, kelompok konservatif misalnya, menyebut apa yang dikampanyekan oleh Kementerian Agama dan UIN Jakarta saat ini adalah liberal, dan apa yang mereka kampanyekan saat ini adalah moderat. Begitu pula sebaliknya kata dia, Kemenag dan UIN Jakarta menganggap apa yang mereka kampanyekan adalah moderat dan menganggap kelompok seperti Salafi-Wahabi sebagai konservatif.

Meski demikian pihaknya menyebut, diskursus soal moderasi beragama merupakan hal yang baru ada di masa modern, sehingga istilah ini tidak ada di dalam diskursus Islam klasik.

“Istilah moderasi beragama ini istilah baru yang biasa diartikan sebagai cara berpikir dan berperilaku moderat. Praktiknya disebut sebagai kerukunan atau dirumuskan sebagai trilogi kerukunan beragama yang diinisiasi oleh Mukti Ali,” lanjutnya.

Dalam diskusi tersebut hadir pula pengamat sosial dan politik, Fachri Ali. Pihaknya dalam forum mengatakan bahwa ia mendorong supaya para akademisi berperan aktif dalam menyebarluaskan gagasan-gagasannya kepada masyarakat.

“Kita mendorong para akademisi untuk menyebarluaskan gagasannya, karena struktur sosial-politik mengungkapkan bahwa sikap hidup moderat dalam beragama itu membuat posisi Negara jauh lebih aman,” kata dia.

Menurutnya, negara merupakan aktor pasar ide. Dalam konteks analitik, negara berusaha mengontrol jalan pikiran tiap-tiap warga negara.

“Ini kalau Anda sedikit kritis di dalam melihat state behavior,” lanjut pria itu.

Selain itu kata Fachri, konsep moderasi beragama sebenarnya sudah selesai pada zaman Harun Nasution, sebab menurutnya Harun Nasution adalah sosok yang memperkenalkan gagasan rasional.

Selain Fachri dan Prof. Media hadir pula dalam forum, peneliti senior Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta Didin Syafruddin, M.A., Ph.D., alumnus Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara & peneliti Center For The Study of Religion and Culture (CSRC) Muhammad Nabil.

Didin dalam pemaparannya mengatakan, PPIM telah melakukan berbagai survei terhadap mahasiswa, guru, peserta didik, dan masyarakat terkait bagaimana persepsi mahasiswa terhadap ekstremisme.

“Anak muda, berdasarkan hasil survei dukungan terhadap negara Islam (hasilnya) lumayan tinggi, menolak teman non-muslim jadi Ketua OSIS, menolak apabila non-muslim menjadi ketua dinas, mendukung pergerakan khilafah, mendukung perjuangan penegakan negara Islam di Filipina, ini berapa contoh yang kita temukan,” kata dia.

Termasuk lanjutnya, penolakan ketika umat agama lain mendirikan rumah ibadah di lingkungannya, sekolah, rumah sakit, dan lain sebagainya. Sehingga hal tersebut kata dia, membuat seolah-olah kinerja Kemenag masih menjadi persoalan dan pertanyaan.

Selain itu dirinya menyebut, semakin banyak masyarakat terutama generasi muda menggali informasi keagamaan melalui sumber internet, hal tersebut akan melahirkan pola pikir yang konservatif dan ekstremis.

“(Data) itu kita dapat dari survei melalui platform media sosial,” lanjutnya.

Senada dengan yang disampaikan Didin, Nabil selaku peneliti CRCS mengaku pernah terlibat menjadi ketua tim riset Kemenag pada 2021 tentang sejauh mana pejabat sudah memahami konsep moderasi beragama.

“Dari kurang lebih 20 narasumber Eselon 1 pejabat Kemenag, masih banyak pejabat yang tidak memahami moderasi beragama, dan ini menjadi PR Kemenag” kata dia.

Selain itu yang lebih mengkhawatirkan, kata dia, adanya data yang menyebut bahwa bukan hanya mahasiswa dan masyarakat umum saja yang terpapar radikalisme dan ekstremisme, namun juga aparatur negara seperti Polri dan TNI.

“Angkanya tidak main-main ini, 3%. Sementara mereka adalah benteng terakhir untuk menahan laju ekspansi dari fundamentalisme, ekstremisme, dan terorisme di Indonesia,” terangnya. (Vina/fu).