Gedung FU, USHUL NEWS – Pada muslim Indonesia tidak hanya mempunyai semangat keislaman dalam melihat isu-isu muslim di lingkup global, tetapi juga ada problem referensi berita, akademik yang objektif dan cara pandang yang utuh menyeluruh. Untuk itu muncul pertanyaan: Apakah referensi berita yang diterima Muslim Indonesia sudah fair dan objektif? Apakah pemahaman Muslim Indonesia tentang isu-isu Islam Internasional sudah benar dan faktual?
Untuk itu, sebagai upaya menjawab persoalan ini, Program Pascasarjana Fakultas Ushuluddin (FU) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menggelar Seminar Nasional Kajian Islam (SNKI) III yang dihelat secara virtual via zoom meeting. Senin (11/10/2021).
Seminar Nasional yang bertajuk “Islam Indonesia dalam Konstelasi Geopolitik Internasional: Peran, Tantangan dan Harapan” ini mendapat antusiasme yang tinggi dari para akademisi. Terbukti dari pantauan, SNKI III ini diikuti oleh 327 partisipan.
Hadir dua narasumber ahli, yakni Dosen (PGSD) Paramadina Graduate School of Diplomacy Dr. Mahmud Syaltout, DEA, dan Dosen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Binus Ella S. Prihatini, Ph.D, serta seorang penanggap yakni Pengkaji Faith-Based Transnasional Actors Irvan Aladip Mahfudin, M.Si, dengan dipandu oleh Moderator Zaki Mubarok, Ph.D, Alumnus International Law and International Relations (MILIR) University of New South Wales, Australia.
Dekan Fakultas Ushuluddin, Dr. Yusuf Rahman, MA, dalam sambutannya mengatakan, Seminar Nasional ini adalah seminar Kajian Islam Magister Fakultas Ushuluddin yang ke 3, dan kali ini difokuskan pada tema Islam Indonesia dalam Konstelasi Geopolitik Internasional.
“Tema kita tentang Islam Indonesia, telah banyak kajian-kajian yang dilakukan oleh para Indonesianis, banyak sekali hal yang menarik, apalagi oleh para pengkaji, Indonesia telah di klaim sebagai negara muslim pertama yang menerapkan democratic country. Kita punya banyak lembaga-lembaga, ormas dan lainnya yang menarik untuk dikaji oleh para peneliti dan juga mahasiswa. Tentu saja yang kita harapkan adalah kajian-kajian yang positif, agar kita bisa lebih mengeksplorasi lagi tentang Islam Indonesia,” katanya.
“Jadi, pada hari ini kita akan mendengarkan para pembicara, tentu saja akan memberikan pencerahan kepada kita tentang Islam Indonesia. Saya kira menarik sekali bagaimana materi-materi yang akan di sharing di sini oleh para narasumber,” sambungnya.
Moderator acara, Zaki Mubarok, mengawali seminar dengan mengatakan bahwa tema SNKI III ini sangat penting dan aktual, menyangkut isu terkini.
“Tema seminar ini menarik. Kita akan bersama-sama mendengarkan pemaparan terkait 2 hal, keunggulan Indonesia secara geografis dan posisi Indonesia secara geopolitik di kawasan dan di luar region. Geografis kita sangat strategis sekali. Karena kita berada di zona utama perdagangan dunia, jadi keunggulan ini perlu dimanfaatkan semaksimal mungkin. Dan salah satu hal yang perlu kita catat adalah Indonesia memiliki muslim terbanyak di dunia,” jelasnya.
Pemateri pertama, Mahmud Syaltout, mencoba keluar dari kebisingan di ruang digital dan mencoba melihat secara strategis, apa yang bisa dimaksimalkan dari konteks geopolitik internasional.
“Berbicara tentang konstelasi geopolitik internasional, saya mencoba menggunakan pendekatan teoritis dari Prof. Zeev Maoz. Kita coba melihat bagaimana hubungan antar bangsa berdasarkan jejaring. Kita bisa mengukur posisi kita di konteks internasional, apakah betul Islam Indonesia itu berperan di dunia,” ujarnya.
Geopolitik, Ia menambahkan, sering kali disamakan dengan hubungan internasional, padahal tidak seperti itu.
“Geopolitik secara sederhana merupakan analisis pertarungan kuasa dan kekuasaan di suatu wilayah. Konteks geopolitik, bagaimana kita melihat peta rivalitas kuasa dan kekuasaan mulai dari unit terkecil, misal pertarungan antara desa, kota, provinsi terus hingga naik pada konteks yang lebih luas dan global,” paparnya.
Sementara itu, pemateri kedua, Ella S. Prihatini, lebih menyoroti isu gender dalam dinamika International Relation (IR), untuk menciptakan IR yang lebih inklusif.
“Pada tahun 1990, peneliti IR yang terkenal, selalu menanyakan mana perempuannya? Gimana mau membuat keputusan yang inklusif jika hanya laki-laki semua? Kalau kita punya banyak perempuan di IR dalam upaya perdamaian. tujuannya bukan membuat IR jadi lemah, tetapi justru membentuk inklusivitas, orang terlibat lebih banyak sehingga kalau laki-laki dan perempuan dapat terlibat untuk memperbaiki struktur sosial yang hierarkis, sehingga yang diharapkan IR yang lebih inklusif yang melibatkan banyak pihak,” paparnya.
Ia melanjutkan, lalu bagaimana Islam Indonesia menampilkan wajah perempuan dalam IR? Meskipun Indonesia setengah penduduknya adalah perempuan, tetapi sangat sedikit sekali perempuan yang berada di parlemen dan kedutaan.
“Bukan hanya itu, pelajar IR perempuan juga banyak, tapi ketika naik level seperti menjadi dosen atau Profesor perempuannya hanya sedikit. Dengan adanya kritisasi terhadap hal ini, bisa mendorong perempuan-perempuan Indonesia yang lebih berkualitas dan kredibel di bidangnya masing-masing,” lanjutnya.
Penanggap materi, Irvan Aladip Mahfudin mengatakan, ketika membahas isu tentang Islam dan isu-isu global kontemporer, maka salah satu topik yang harus dibahas adalah mengenai konsep aktor transnasional keagamaan.
“Konflik lokal juga bisa berpengaruh sampai internasional karena beberapa hal; pertama, informasi yang menembus batas negara. Kedua, dikhawatirkan bersifat trans-nasional. Ketiga, ada intervensi dari luar,” katanya.
“Sebenarnya aktor negara dan non-aktor sama-sama memiliki peluang untuk berkontribusi dalam perdamaian di suatu kawasan, tetapi memiliki modalitas dan strategi yang berbeda. Upaya peace building oleh middle range lebih berpotensi berhasil daripada top level yang bias dengan kepentingan nasional dan keterikatan tertentu,’ sambungnya. (man/fu)