Gedung FU, USHUL NEWS – Seminar Nasional Kajian Islam (SNKI) IV yang digelar Fakultas Ushuluddin (FU) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta mendapat animo yang besar dari masyarakat intelektual, khususnya dosen, peneliti, dan mahasiswa. Hal ini bisa dilihat dari total artikel yang lolos seleksi ada 37 artikel dari 15 kampus yang berbeda-beda dan hadir total lebih dari 500 partisipan. Selasa (27/6/2022)
Even nasional yang dihelat selama 2 hari, Selasa-Rabu 27-28 Juni 2022, ini menghadirkan total 8 narasumber, 3 narasumber untuk hai pertama, dan 5 narasumber di hari kedua.
Untuk hari ini, narasumber yang hadir di antaranya 1) Prof. Kusmana, M.A., Ph.D. (Guru Besar Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta), 2) Prof. Dr. Zulkifli, M.A. (Wakil Rektor Bidang Akademik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta), dan 3) Prof. Dr. Heddy Shri Ahimsa Putra, M.A., M.Phil (Guru Besar Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta), dan Moderator Rosi Islamiyati, M.Ag. (UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta).
Mengawali seminar, Moderator Acara, Rosi Islamiyati mengatakan, SNKI IV kali ini mengusung tema yang menarik yaitu “Living Islam in the Contemporary Indonesian Society: Status, Prospect, and Challenges”.
“Sebenarnya istilah Living Islam ini belum lama muncul. Kajian Living Islam telah berhasil memberi nuansa baru dalam kajian Islam di Indonesia, yang semula hanya berkutat pada kajian teks. Namun, kajian awal mula kemunculan dan pembentukan Living Islam masih terbilang luput dari pengamatan pengkajinya.
Ia menambahkan, Living Islam menyoroti kehidupan praktik keagamaan yang ada di ruang sosial masyarakat.
“Dari situlah muncul seperangkat ilmu-ilmu sosial, seperti sosiologi, antropologi, psikologi, kesusastraan dan lain-lain. Tapi disisi lain, Islam juga sebagai agama dalam perkembangannya telah memunculkan keilmuan yang lebih praktis dan kontekstual, yang kemudian menjadi perhatian sarjana muslim, yang selanjutnya kita kenal dengan Living Islam.
Narasumber pertama, Guru Besar Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Kusmana memaparkan materinya yang berjudul ‘Sunnah, Praktik Sosial, dan Living Qur’an: Suatu Pembacaan Alternatif atas Wacana dan Sejarah Pemikiran Islam’.
“Fenomena kajian Living Islam sudah muncul sejak tahun 1980an dan 1990an. Tema Living Islam ini memang sudah menjadi perhatian sarjana muslim sekarang ini. Sudah lebih dari seratus tahun kaum muslimin di seluruh dunia memberikan perhatian mereka pada upaya penafsiran kembali Islam agar sesuai dengan konteks zaman modern. Bahkan beberapa jurnal dinamai khusus dengan Living Islam, sehingga tidak aneh bila fenomena ini menjadi perhatian banyak pihak,” jelasnya.
Kemudian dalam konteks hubungan tradisi, Kusmana menambahkan, sedang mengalami perhatian banyak sarjana, tentang teori praktik. Dan ini banyak pihak, tetapi mengerucut pada Pierre Bourdieu dan Anthony Giddens.
“Pada penggunaan metode, bisa saja penggunaan pelaksanaan dengan teorinya itu tidak sama. Praktik juga berarti kebiasaan atau prosedur cara dari apa yang dilakukan masyarakat. Itu adalah contoh-contoh praktik yang berhubungan dengan sejumlah cara yang kita patuhi atau tidak kita patuhi. Masyarakat memiliki perbedaan praktik keagamaan karena perbedaan ruang waktu adat istiadat yang mempengaruhi pemikiran dan struktur beragama mereka,” papar Kusmana.
Kusmana menjelaskan, sosial praktis atau teori yang berkembang dalam bidang sosio-antropologi, pada intinya terdiri dari 3 hal, yakni practices, social practice, dan social structure.
“Ketika praktik dibangun dalam praktik-praktik yang membuat kita membuka diri belajar transformasi, maka yang muncul adalah kemajuan, improvement. Namun jika kita tidak terbuka, yang terjadi adalah stagnasi. Karena sebuah praktik itu selalu ada sesuatu yang tetap dan berubah, maka itu bisa converging atau bisa mengonsentrasi pada penguatan praktik itu atau justru bisa lepas dari apa yang dicontohkan,” katanya.
Menurutnya, Living Islam adalah rumah yang besar yang merupakan kumpulan praktik muslim yang di dalammnya ada living Quran, living sunnah, living hadits, living fiqh dan living-living aspek Islam lainnya.
“Ketika seorang muslim memahami sesuatu perkara, maka dia akan melihat di al-Qur’an, kemudian lihat sunahnya juga, jika tidak ada, dia akan melakukan ijtihad, kemudian mengerucut pada kesepakatan bersama, pada praktik yang disepakati bersama menjadi ijmak. Ini sangat praktis sesuai dengan situasi dan kondisi yang terjadi pada Rasulullah, ini merupakan cara untuk menjawab persoalan di masa itu,” katanya lagi.
“Hubungan antara ijtihad dan ijmak ini akan berbeda, karena ada perumusan kembali tentang sunah yang diangkat dari konteks kejadian awalnya. Praktik hubungan dinamis itu di satu sisi, dengan kebutuhan yang dihadapi umat Islam pada waktu, karena satu geografi dengan geografi yang lainnya sangat berbeda, Syafi’i melihat ini sebagai suatu kekacauan yang perlu diluruskan. Sehingga runtutnya akan berbeda, yakni Quran, sunah, ijmak dan ijtihad. Syafi’i ini me-universalisasi apa yang terjadi pada Rosul,” imbuhnya.
Sementara itu, Wakil Rektor Bidang Akademik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Zulkifli lebih menyoroti kerangka konseptual yang digunakan untuk melihat Living Islam, yakni discourse dan practice.
“Saya tidak fokus pada persoalan diskursus, tetapi lebih kepada tataran praksisnya saja. Melalui 2 kerangka konseptual inilah saya ingin memotret bagaimana Living Islam di kehidupan kontemporer sekarang ini,” katanya.
“Yang namanya tradisi Islam itu pasti bersifat discursive. Dan yang paling diperdebatkan adalah soal ‘one or many Islam’? Di Indonesia, tradisi Islamic yang paling popular adalah Islam Nusantara. Banyak yang tidak setuju dengan istilah Islam Nusantara, ini lebih bersifat tradisional,” sambungnya.
Menurutnya, diskursus yang berkembang di dalam Living Islam pada masyarakat kontemporer selanjutnya adalah tentang Islam Berkemajuan, Islam Rahmatan lil Alamin, istilah ini selalu diperdebatkan, dikonstruksi oleh berbagai kelompok yang mengaku sebagai Islam Rahmatan lil Alamin, dan sampai pada Islam Moderat/Wasatiyah. Berbagai kelompok juga mengaku mengonstruksi atau mengklaim sebagai Islam moderat. Ini terangkum dalam Discursive Islamic Tradition.
“Pada tataran praktis, saya ingin membuatnya menjadi sederhana, menjadi Practical Islam. Ini menggambarkan bagaimana dinamika Islam itu lahir dari struktur subjektif, dan berhadapan dengan struktur objektif dalam arena yang relevan, apakah itu arena politik, keagamaan, atau kesufian. Yang tidak kalah penting adalah soal otoritas, siapa yang berwenang untuk berbicara Islam. Dalam konteks ini, selalu ada kekuatan, kekuasaan, Power. Ulama itu sangat dekat dengan kekuasaan di sini. Kemudian pasti akan dihadapkan pada persoalan ortodoksi dan heterodoksi,” paparnya.
“Berikutnya, bagaimana konteksnya? Living Islam itu selalu kontekstual, jauh dari eksistensialis, kita harus lari pada pendekatan esensialis. Kontekstual itu artinya terjadi proses diskusi, perdebatan, konstruksi, perebutan otoritas atau kebenaran tentang practical Islam,” imbuh dia.
Pemateri ketiga, Guru Besar Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Prof. Heddy Shri Ahimsa Putra menjelaskan tentang ‘Studi Living Islam; Keadaan, Peluang dan Tantangan’, mengawali pemaparannya tentang apa itu Living Islam dan hubungannya dengan simbol agama.
“Living Islam adalah Islam yang hidup, Islam sebagai ‘agama’ yang hidup dalam suatu masyarakat. Islam sebagai ‘agama’ yang mewujud dalam kehidupan sehari-hari suatu masyarakat, juga sebagai. Kemudian apa itu agama? Perangkat simbol yang digunakan dalam proses komunikasi manusia dengan sosok supranatural, dalam berhubungan dengan dunia supranatural. ‘Agama’ selalu melibatkan sosok supranatural, realitas yang tidak empiris, yang tidak dapat diketahui melalui indra (pancaindra),” katanya.
Aspek kebahasaan, sambung dia, merupakan simbol yang paling fundamental yang membuat konstruksi sosial bisa terjadi dan terbangun. Kemudian simbol gagasan juga penting. Di sini, Islam sebagai agama, juga merupakan perangkat simbol dengan ciri tertentu yang dibangun oleh Muhammad, ini akar yang tidak bisa kita tolak. Ini selalu dimaknai dalam kehidupan manusia, kehidupan kita sebagai umatnya.
“Dalam Islam, yang tetap itu al-Qur’an dan hadisnya, tetapi dalam tataran simbolik, Islam itu selalu berubah, tidak tetap. Apalagi dalam paradigma historis, selalu berada dalam perkembangan. Islam adalah ajaran yang plural, tidak ada ajaran Islam yang paling baik dan benar yang hidup di masyarakat, Islam selalu dinamis, karena praktik keislaman selalu berbeda di tengah masyarakat,” pungkasnya. (man)