Prof. Dr. Rd. Mulyadhi Kartanegara

(Guru Besar Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)

 

Terlalu sering kita mengatakan bahwa agama sama sekali tidak bertentangan dengan akal. Tetapi lihatlah betapa banyak pemahaman agama yang tidak mengindikasikan kekompakan antara keduanya tapi justru lebih banyak terbawa emosi dari pada mengikuti tuntunan akal. Misalnya memandang remeh pada bahaya virus corona yang ditafsirkan sebagai berkurangnya kepercayaan (iman) kepada Allah.

Ilmu pengetahuan atau sains dan teknologi yang dikembangkan berdasar pada observasi yang cermat dengan bukti-bukti empiris dan penalaran rasional tidak bisa kita remehkan begitu saja hanya karena diproduksi oleh orang non-Muslim atau lebih tegas lagi Yahudi. Karena observasi ilmiah dan pertimbangan rasional memiliki akar realitasnya.

Bukankah Hegel pernah berkata bahwa rasionalitas berpadanan dengan realitas, semakin rasional sesuatu, semakin real dia. Nah, realitas ini tidak boleh kita abaikan sebagai konspirasi. Renungkan ini: beberapa orang tetangga dan teman dekat yang terpapar covid-19–bahkan banyak yang sampai meninggal, tidak bisa dianggap sebagai angin lalu, itu adalah realitas yang jelas dan nyata.

Tetapi memang, sebagai orang yang beriman atau beragama, kita juga tidak boleh kehilangan keyakinan kita akan kuasa Allah dan menyandarkan seluruhnya pada sains dan teknologi. Memiliki harapan seperti ini tetap penting agar kita tidak terlalu takut berlebihan dengan virus ini, karena betapa pun ganasnya, kita yakin kuasa Allah lebih besar lagi.

Secara psikologis akan membuat diri kita tenang, dapat meredakan stres dan kecemasan yang berlebihan (paranoid) yang justru akan mengakibatkan turunnya imunitas kita padahal ia sangat kita perlukan untuk memenangkan perang kita melawan sang virus. Demikianlah saya melihat bagaimana terjalin hubungan keserasian antara ilmu, akal dan agama, yang punya hubungan yang erat dan mesra. Allahu a’lam. Semoga bermanfaat!