Gedung FU, USHUL NEWS – Manusia dituntut untuk bisa mengikuti perkembangan zaman yang serba digitalisasi yang telah merambah pada semua aspek kehidupan manusia. Maka, bagaimana kaitannya dengan agama? Kira-kira apa urgensinya manusia belajar tentang studi agama-agama? Untuk menjawab problem ini, Program Studi (Prodi) Studi Agama-Agama (SAA), Fakultas Ushuluddin (FU), UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menggelar Studium Generale yang dihelat secara hybrid, baik online via zoom meeting maupun offline di Room Meeting, Gedung FU Lantai 4. Selasa (15/06/2021).
Studium Generale SAA yang bertajuk “Studi Agama dan Generasi 4.0” ini menghadirkan 2 narasumber ahli, yakni Guru Besar Fakultas Ushuluddin Prof. Dr. Media Zainul Bahri, MA, dan Dosen Universitas Paramadina Jakarta Husni Mubarok, MA, dengan dipandu oleh Moderator Khairatun Nisak, S.Ag. Dihadiri juga oleh 136 partisipan baik secara offline maupun online.
Dekan Fakultas Ushuluddin Dr. Yusuf Rahman, MA mengawali SG SAA dengan mengapresiasi para panitia dan civitas akademika yang terlibat dalam kegiatan ini.
“Alhamdulillah pagi ini kita bisa menyelenggarakan SG SAA, terima kasih untuk semua yang terlibat. Tema kali ini sangat menarik dan kekinian, bagaimana manusia dituntut untuk bisa beradaptasi dengan kemajuan zaman, terutama teknologi informasi, dan bagaimana benturannya dengan peran agama,” katanya saat membuka acara.
Banyak sekali tantangan, Yusuf menambahkan, yang harus dihadapi di era Generasi 4.0 saat ini, seperti mudah tersebarnya berita-berita intoleransi, hoaks dan sebagainya.
“Di sini kita harus bisa bersikap arif untuk menyikapi fenomena tersebut. Dengan gawai yang kita pegang, banyak sekali informasi-informasi yang disebarkan oleh media sosial. Dan kita dituntut untuk bisa menyikapi ini. Bagaimana berbagai informasi yang terkait agama untuk bisa counter narasi terhadap berita-berita yang tidak benar itu,” jelasnya.
Narasumber pertama, Guru Besar Fakultas Ushuluddin, Prof. Dr. Media Zainul Bahri, MA dalam pemaparan materinya mengatakan, SAA bisa membentuk output mahasiswa untuk bisa menjadi scholar, akademisi, bahkan bisa juga menjadi saintis.
“Kata Karen Amstrong, kitab suci sekarang ini lebih banyak dipahami lewat otak kiri. Termasuk persoalan keagamaan. Karena ini bagian dari saintifikasi dan rasionalisasi terhadap kitab suci. Lebih banyak menggunakan penjelasan yang logis, rasional dan saintifik,” paparnya.
“Karen Amstrong mengajak manusia untuk memahami kitab suci dengan otak kanan, yakni lebih banyak menyoal tentang keindahan, perdamaian, empati, simpati dan melihat hidup itu secara optimis. Ini adalah tawaran dari Karen Amstrong yang melihat agama ternyata penuh dengan kedamaian yang selaras dengan karakteristik psikologis manusia,” sambung dia.
Pemateri kedua, Dosen Universitas Paramadina Jakarta, Husni Mubarok, MA mengatakan, manusia tidak bisa menghindari dari kemajuan zaman, sehingga harus paham tentang bagaimana hubungannya studi agama bagi generasi 4.0, termasuk juga tantangan dan peluangnya dengan pendekatan terbaik dalam Studi Agama.
“Lalu agama itu apa? Menurut Elizabeth Shakman Hurd dalam “Beyond Religious Freedom”, agama itu ada 3 kemungkinan. 1) Governed Religion, agama sebagaimana dikonstruksi oleh kekuasaan politik, menentukan apa yang boleh dan tidak dalam suatu agama. 2) Expert Religion, agama sebagaimana dipelajari para sarjana. Tak sekedar memahami tapi sekaligus mendefinisikan juga mengonstruksi apa yang disebut agama. 3) Lived Religion, agama sebagaimana dipraktikkan umat, cenderung menghindari definisi, karena sifatnya cair dan beragam, saling meminjam satu sama lain,” jelas dosen yang juga Peneliti Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD) Paramadina ini.
Sementara itu, Kepala Prodi Studi Agama-Agama, Syaiful Azmi, MA, mengapresiasi para narasumber dan pemaparan materi dengan bahasan yang kontekstual dan kekinian.
“Kita mendengarkan banyak hal dari para narasumber yang luar biasa dan handal di bidangnya. Saya sangat senang dan merasa mendapat nuansa baru tentang Studi Agama. Sebenarnya ilmu juga harus dihubungkan dengan kebutuhan-kebutuhan manusia. Harus ada kontribusi terhadap kehidupan manusia,” ujarnya.
“Lalu ada dua hal yang menarik namun kontradiktif. Zaman sekarang, di satu sisi manusia meninggalkan agama, tapi di sisi lain justru manusia jadi lebih banyak berdoa. Saya kira di sini kita bisa menekankan bahwa bagaimana kita melihat agama, terutama dalam konteks kebutuhan hidup manusia,” pungkasnya. (man/fu)