Gedung FU, USHUL NEWS – Helatan Seminar Nasional Kajian Islam (SNKI IV) Fakultas Ushuluddin (FU) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Hari Kedua, menghadirkan lima narasumber, salah satunya adalah Dai Milenial yang ramai di platform Media Sosial, Habib Husein Ja’far al-Hadar, S.Fil.I., M.Ag., yang juga merupakan alumnus Fakultas Ushuluddin, Program Magister Ilmu Al- Qur’an dan Tafsir. Rabu (29/6/2022)
Narasumber lainnya di antaranya 1) Prof. Dr. Sri Mulyati, M.A. (Guru Besar FU UIN Syarif Hidayatullah Jakarta), 2) Dete Aliyah, S.Sos., M.A. (Direktur Eksekutif SerVe Indonesia (Society Against Radical & Violent Extremism), 3) Dr. Rifqi Muhammad Fatkhi, M.A. (Ketua Program Studi Ilmu Hadis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta), 4) Dr. Eva Nugraha, M.A. (Ketua Program Studi Ilmu Al-Quran dan Tafsir UIN Syarif Hidayatullah Jakarta), dan Moderator Fathor Rahman, M.Sy. (UIN KH. Ahmad Siddiq Jember).
Fathor Rahman, selaku moderator mengawali diskusi, menyampaikan ketertarikannya pada tema SNKI IV kali ini.
“Temanya sangat menarik. Karena bagaimanapun, Islam perlu dikaji tidak hanya melalui teks-teksnya saja, tapi juga konteks. Seperti sosial, politik, budaya dan teknologi,” katanya.
Pemateri pertama, Prof. Sri Mulyati memaparkan materinya Prinsip Moderasi dalam Islam (The Principles of Moderation in Islam). Menurutnya, Islam memiliki prinsip-prinsip moderasi yang sangat mumpuni, di antaranya: 1) Keadilan, 2) Keseimbangan dan 3) Toleransi.
“Ketiganya merupakan paham yang dipegangi oleh Sunni atau Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah, yang mana konsep teologi mengikuti Imam Abu Hasan al-Asy’ari, dan Imam Abu Mansur al-Maturidi, serta konsep dan produk fikih mengikuti Mazahib al-Arba‘ah. Salah satu karakter dari Ahl Sunnah wa al-Jama‘ah ini adalah selalu bisa beradaptasi, tidak jumud, tidak kaku, elitis apalagi ekstrem. Dan juga melakukan pemekaran relevansi pemikiran sekaligus gerakan konkret dalam seluruh bidang kehidupan,” ujarnya.
Ia menjelaskan, ada yang beranggapan bahwa Ahl al-Sunnah ini semacam mazhab, ada juga yang bilang hanya sebatas manjhaj al-fikr atau metodologi berpikir saja.
“Yang jelas, Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah ini dapat mengakomodir nuansa perkembangan dan kemajuan manusia yang selalu up to date. Jika tidak demikian, maka akan terjadi kebekuan dan kevakuman. Bahkan yang ada malah akan menjadi doktrin eksklusif, tidak inklusif,” katanya.
Kehadiran Asya’ari dan al-Maturidi, lanjut dia, ini berhasil mempengaruhi pemikiran orang banyak melalui sikapnya yang lentur dan fleksibel, yaitu keadilan, keseimbangan dan toleransi.
“Umat Islam sudah seharusnya mengambil jalan tengah, supaya lebih mudah menjalankan ajaran agamanya. Orang-orang yang bersikap dan berdiri dengan cara mengambil jalan tengah antara lain; tidak sombong dengan kelompoknya, menolak ekstremisme dan liberalisme. Umat Islam tidak terjebak dalam pemahaman sempit dari kaum ekstremis-tekstual, begitu juga terjerembap dalam pemikiran ekstremisme-relativisme kaum liberal (melampaui batas),” jelasnya.
Di kesempatan kedua, Habib Husein Ja’far al-Hadar mengatakan, Islam kontemporer saat ini hidup dengan tantangan baru, terutama dengan adanya tantangan dunia digital, lebih dari 63 % orang belajar agama Islam melalui media digital. Media digital sebagai tempat menimba ilmu Islam, 73 % orang Indonesia itu tersambung dalam internet atau media digital. Survey PPIM menyebutkan narasi-narasi Islam moderat hanya menguasai 30-40 %, narasi tidak moderat sekitar 60 %.
“Maka, perlunya memproduksi konten-konten moderasi Islam moderat di dunia media digital. Ini merupakan tantangan baru. Media digital itu mencuri waktu orang (dalam catatan survey) sekitar selama 5-8 jam per-hari, dan 54 kali sehari orang Indonesia memegang HP-nya,” kata Habib Jafar.
Menurutnya, seharusnya civitas akademika dan alumni mahasiswa UIN, khususnya Fakultas Ushuluddin berada dalam garda terdepan dalam menjawab tantangan ini. Riset Alvara menyebutkan bahwa perbincangan media sosial selalu terkait dengan fikih.
“Padahal, yang namanya ateisme dan atau sekularisme sedang meningkat tinggi, di Saudi ada pertumbuhan 5 % menjadi ateis, belum lagi di Pakistan, di Turki 3 kali lipatnya Saudi. Mengapa hal tersebut terjadi? Poin utamanya adalah karena agama dinilai tidak rasional, tidak pernah menjawab tantangan-tantangan kontemporer secara rasional,” jelasnya.
“Oleh karena itu, prodi-prodi di Fakultas Ushuluddin, seperti; 1) Prodi Aqidah dan Filsafat Islam & Ilmu Tasawuf sebagai salah satu mata kuliah dan juga prodi tentu perlu hadir menjelaskan Islam yang rasional, sejuk, damai dan harmoni. 2) Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir & Ilmu Hadis juga perlu hadir. Disebabkan warga-net selalu ingin tahu dalil Qur’an dan Sunahnya mana. Jadi, cenderung tidak mau mendengar agamawan yang tidak merujuk Qur’an dan Sunnah. Penceramah atau agamawan yang mampu menghadirkan nilai-nilai toleransi sangat digemari warga-net,” sambungnya.
Masih pada materi SNKI IV, Direktur Eksekutif SerVe Indonesia (Society Against Radical & Violent Extremism), Dete Aliyah menjelaskan, di kalangan remaja, cukup marak fenomena hijrah remaja, sebenarnya tidak hanya pindah tempat, tapi juga perubahan penampilan, misalnya pakaian syar’i. Tidak hanya remaja, ibu-ibu rumah tangga pun sudah masuk, bahkan pada wilayah kepolisian dan kemiliteran.
“Hijrah tidak hanya wujud eksistensi, tapi juga wujud ketaatan, anak-anak muda ini sedang mencari identitas, sayangnya bertemu dengan kelompok seperti mereka yang memiliki paham radikalisme. Mereka mencoba membandingkan Pancasila dengan al-Qur’an, demokrasi dengan al-Qur’an, dan lain-lain. Kita yang agamanya sama kadang kala dibilang kafir, dan pemerintah dianggap thagut. Sampai bisa masuk ke sekolah-sekolah untuk melakukan propaganda, seperti memperkenalkan bendara tauhid dan mempromosikan khilafah, jadi mulai tidak peduli dengan Bendera Merah Putih,” jelas dia.
Ketua Prodi Ilmu Hadis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Rifqi Muhammad Fatkhi, mempresentasikan soal ‘Hadis dalam Perebutan Wacana Keagamaan: antara Teks Kekuasaan dan Kekuasaan Teks’.
“Memang pernah pada masanya ada semacam memobilisasi hadis; misalnya, mudzakarah satu hadis lebih utama daripada membaca al-Qur’an, pokoknya meriwayatkan hadis keutamaannya besar. Meskipun sebelumnya di masa Sahabat, sempat ada semacam kebijakan membatasi hadis, seperti yang dilakukan oleh sahabat Abu Bakar, kemudian dilanjutkan oleh Umar bin Khaththab. Kemudian selepas sahabat Umar tiada, generasi masyarakat Muslim mulai memiliki kecenderungan kuat untuk mau tahu seperti apa Rasulullah, apa saja yang pernah dikatakan dan dilakukan oleh Rasulullah,” paparnya.
Pada perkembangan selanjutnya, Rifqi menambahkan, tidak bisa dipungkiri, memang ada semacam kontestasi atau pertarungan antara teks versus kekuasaan; baik kekuasaan dalam soal penulisan, maupun soal konservasi hadis (pemeliharaan hadis).
“Kontestasi antara teks dan kekuasaan merembes dalam wilayah konservasi hadis; soal kompilasi dan kodifikasi dalam kebutuhan fikih praktis. Seperti, al-Tirmidzi murid al-Bukhari menyusun kitab hadis tidak hanya yang sahih, tapi juga yang dipraktikkan. Hasilnya, adanya kontestasi antara teks kekuasaan versus kekuasaan teks ini, memberikan kesan bahwa teks/kitab hadis yang kita terima tersebut semacam membentuk identitas masyarakat, yaitu masyarakat Sunni dan Syiah. Pluralitas intra ini harus kita terima secara bijaksana, bukan malah memperkeruh apalagi saling mengkafirkan,” tukasnya.
Ketua Prodi Ilmu Al-Quran dan Tafsir UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Eva Nugraha mengatakan, saat ini agama hidup berdampingan dengan teknologi, oleh karena itu bisa kita sebut sebagai era agama digital (digital religion), Generasi Milenial atau Generasi Z sudah memaknai teknologi sebagai kebutuhan yang niscaya.
“Dari sisi kajian, terdapat empat gelombang tentang studi agama dan teknologi. Adanya aplikasi-aplikasi di dunia digital merupakan fenomena baru, sehingga mewujudkan Qur’an Digital, adanya Pusat Kajian Hadis Indonesia, aplikasi al-Qur’an Kemenag, UNPAM juga sudah memulai,” katanya.
Webinar SNKI IV ini dilanjutkan dengan sesi diskusi dan Tanya jawab, dan diakhiri pemberian cendera mata dan sertifikat oleh Dekan Fakultas Ushuluddin, Dr. Yusuf Rahman, M.A., kepada para narasumber dan moderator. (man)